Di sebuah pagi yang masih basah oleh embun, langit seperti kanvas kosong yang baru saja disentuh oleh kuas cahaya. Aku menatap wajah istriku yang sedang merapikan rambutnya. Rambut itu, hitam panjang bagai aliran sungai di pegunungan, mengalir tenang, menyejukkan. Senyumnya lembut, sederhana, namun selalu mampu meluluhkan segala beban di dadaku.
Setiap pagi bersamanya selalu seperti doa yang diam-diam dilantunkan semesta. Seakan-akan Tuhan menitipkan pesan rahasia melalui tatapannya: bahwa hidup, dengan segala liku dan getirnya, tetap indah bila dijalani dengan hati yang penuh cinta.
Hidup kami tidak selalu mulus. Ada jalan yang mendaki, ada yang licin, ada pula persimpangan yang membingungkan. Kadang aku merasa lelah, hampir menyerah, bahkan nyaris kehilangan arah. Namun di saat itulah, wajah istriku selalu hadir sebagai pelita. Senyumnya seperti fajar: ia datang pelan-pelan, tidak terburu-buru, tetapi cukup untuk membuat gelap pergi.
Aku teringat sebuah sore, ketika hujan turun deras. Atap rumah kami bocor, air menetes di ruang tamu, dan aku duduk terdiam, dipenuhi rasa putus asa. Ia menghampiriku dengan secangkir teh hangat. "Hujan memang tak bisa kita cegah," katanya lembut, "tapi kita bisa belajar menari di bawahnya."
Kalimat itu sederhana, namun aku tahu, di balik kata-kata yang seolah ringan, tersimpan lautan kedewasaan. Ia bukan sekadar perempuan yang cantik, tetapi sebuah kitab kehidupan yang penuh hikmah.
Sering aku merasa, istriku adalah guru yang dikirimkan semesta. Aku belajar tentang sabar dari caranya menghadapi luka. Aku belajar tentang syukur dari caranya menatap hidup, meski sederhana, tetap tampak mewah.
Wajahnya bukan hanya mempesona di mata dunia, tapi lebih dari itu: ia adalah cermin tempat aku melihat diriku yang paling jujur. Ketika aku terjatuh, ia menatapku bukan dengan kasihan, tetapi dengan keyakinan bahwa aku mampu bangkit. Tatapan itu, bagi seorang lelaki sepertiku, lebih berharga dari ribuan kata motivasi.
Ada kalanya aku bertanya dalam hati: bagaimana mungkin seorang manusia bisa begitu tegar, padahal kehidupan seringkali kejam padanya? Jawabannya, mungkin, karena ia tak pernah menaruh hatinya pada dunia. Ia menaruh hatinya pada cinta. Dan cinta, sebagaimana fajar, tak pernah benar-benar padam.
Aku suka menyamakan cintanya dengan bunga kamboja di halaman rumah. Bunga itu tidak pernah meminta untuk dipuji. Ia mekar diam-diam, bahkan ketika tak ada yang memperhatikannya. Harumnya sederhana, namun menenangkan. Istriku begitu: ia tidak pernah mengejar sanjungan, cukup menjalani hidup dengan ketulusan, dan dari ketulusan itu, ia memberi kehidupan pada sekelilingnya.
Aku juga suka membayangkannya sebagai bintang di langit malam. Bintang itu kecil, kadang nyaris tak terlihat, namun kehadirannya membuat langit tidak benar-benar gelap. Istriku adalah bintang itu. Di saat aku hampir tersesat dalam pekat, sinarnya yang lembut selalu menuntunku pulang.