Lihat ke Halaman Asli

Diantara Taksi Konvensional dan Transportasi Berbasis Aplikasi

Diperbarui: 25 Maret 2016   15:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Unjuk rasa anarkistis pengemudi taksi konvensional di depan gedung DPR menambah daftar permasalahan  baru di era Joko Widodo (Jokowi). Kemarin (22/3) ujuk rasa menolak transportasi berbasis aplikasi terjadi lagi di Jakarta. Para pengemudi, yang sebagian besar dari Blue Bird dan Ekspres mengamuk. Mereka memaksa pengemudi taksi lainnya untuk ikut berunjuk rasa. Bahkan, mobil taksi milik perusahaan tempat mereka bekerja dirusak dan penumpang diturunkan paksa. Suatu tindakan yang bisa jadi justru merusak reputasi Blue Bird dan Ekspres.

            Pengemudi taksi konvensional yang selama ini dikenal mempunyai pelayanan yang ramah dan santun kini mengamuk karena merasa tersaingi oleh Uber dan Grab, penyedia aplikasi transportasi berbasis online. Uber dan Grab sukses menarik perhatian publik karena harganya yang lebih terjangkau. Sebagai contoh, dari Bandara Soekarno-Hatta ke Kebayoran Lama, dengan menggunakan taksi konvensional, penumpang biasanya harus merogoh kocek Rp 150 ribu. Dengan Uber, kita cukup membayar Rp 80 ribu.

            Unjuk rasa memang diperbolehkan, asal tidak ricuh. Kalau yang terjadi malah sebaliknya, bukan hanya satu pihak saja yang dirugikan. Tapi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya pun ikut merugi. Apapun alasanya, aksi anarkitis yang disuguhkan pengemudi taksi kemarin tidak bisa dibenarkan. Harus ada sanksi tegas bagi pengemudi yang anarkistis di jalanan kemarin.

            Di sisi lain, perkembangan teknologi yang semakin canggih memang tidak dapat disanggah. Hal ini diluar UU”, kata Luhut Binsar Pandjaitan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polkuham). Uber dan Grab merupakan bentuk nyata kecanggihan itu, teknologi berbasis online ini diyakini telah menarik perhatian publik serta menimbulkan rasa ketidakadilan bagi pengemudi taksi konvensional. Mereka merasa, Grab dan Uber telah merenggut rejekinya.

            Permasalahan yang harus dihadapi di era ‘digital native’ ini, dimana teknologi telah berkembang semakin pesat. Siapa saja yang tidak dapat mengikutinya pasti akan ketinggalan zaman. Perusahaan taksi konvensional harus berinovasi. Karena kemajuan zaman tidak bisa dihentikan. Bukan malah berlaku anarkistis seperti kemarin. Perusahaan taksi konvensional harus merubah strategi marketingnya dan beradaptasi dengan kemajuan zaman agar bisa bertahan dalam persaingan.        

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline