Pada tahun 2010 -- an dulu, Kabupaten Sidoarjo masih berupa lahan persawahan yang cukup luas. Hamparan persawahan hijau terbentang luas sejauh mata memandang, menciptakan mozaik perubahan warna sesuai siklus pertanian, hijau tua selama masa pertumbuhan dan kuning keemasan ketika musim panen tiba. Pemandangan ini tidak hanya merefleksikan kesuburan tanah, akan tetapi juga ebagai indikator produktivitas pertanian yang menjadi tulang punggung perekonomian wilayah Sidoarjo.
Pada saat sore hari, aktivitas pertanian tetap berlangsung dengan para petani yang kembali dari ladang membawa alat-alat pertanian serta hasil bumi, membentuk siluet para petani yang pulang dengan langkah lelah namun penuh kepuasan. Suara aliran air dari jaringan irigasi turut menyertai hembusan angin, menciptakan latar suara yang khas bagi lingkungan persawahan. Aspek sosial-budaya juga tampak pada aktivitas anak-anak yang bermain di area pematang sawah, sementara perempuan-perempuan setempat berperan dalam mendukung kegiatan pertanian dengan membawakan bekal bagi keluarga yang bekerja di ladang.
Secara sosiologis, masyarakat Sidoarjo masa itu merepresentasikan suatu bentuk kehidupan agraris yang harmonis, ditandai oleh kesederhanaan dan nilai-nilai kebersamaan yang kuat. Setiap bagian dari landscape pertaniannya tidak hanya berfungsi sebagai penghasil padi, tetapi juga menjadi penopang memori kolektif, budaya, dan identitas komunitas yang hidup dalam keselarasan dengan lingkungan alamnya. Interaksi sosial yang terbangun antara individu menggambarkan nilai-nilai gotong royong dan kesederhanaan yang menjadi ciri khas utama.
Kenangan dahulu akan masih melekat kuat di benak mereka untuk yang sempat menyaksikan Sidoarjo dalam dua puluh atau bahkan sepuluh tahun silam. Jika masih ada, mungkin kita masih bisa melihat petani membajak sawah atau anak-anak berlarian di pematang sawah. Tetapi, yang tersisa hanyalah kenangan. Sepanjang jalur utama menuju Surabaya, hamparan hijau itu satu per satu menghilang, digantikan oleh dinding-dinding beton bertuliskan nama perumahan megah yang menjanjikan "kehidupan modern".
Setiap kali saya melalui jalan tol atau arteri utama, yang saya lihat adalah deretan rumah tipe 36 samapi 70 yang tumbuh seperti jamur di musim hujan. Ratusan, hingga sampai ribuan unit rumah baru muncul setiap tahunnya, menggerus sawah dan kebun yang dulu menjadi napas hijau sebuah kota. Prosesnya begitu cepat, seolah tanpa jeda, belum selesai satu proyek, proyek berikutnya sudah dimulai di seberangnya. Perubahan ini tidak hanya mengubah pemandangan, tetapi juga denyut nadi kehidupan. Suara jangkrik dan kodok malam hari kini tergantikan oleh deru mesin diesel dan bunyi bor. Jalan-jalan desa yang dulu sepi kini ramai oleh mobil dan motor penghuni baru. Ini bukan hanya sekedar perubahan, akan tetapi sebuah "replacement" atau penggantian paksa sebuah ekosistem lama dengan yang baru, tanpa bisa kembali.
Dalam beberapa tahu tertentu, lahan pertanian di Sidoarjo mengalami penurunan akibat alih fungsi menjadi perumahan dan kavling tanah. Seperti pada tahun 2019, luas lahan pertanian (produktif) di Sidoarjo masih sekitar 20.900 ha dan kemudian mengalami penurunan pada tahun 2023 yang menjadi 20.500 ha, ada sekitar 400 ha lahan yang tergerus pada periode tersebut. Beberapa kecamatan atau desa yang terdampak contohnya, Kecamatan Sedati seperti di Desa Sedati Agung, Kwangsan, dan Pabean ini merupakan area yang cukup dekat dengan Bandara Juanda dan akses tol yang membuat wilayah ini akan menjadi pusat Pembangunan perumahan yang cukup intensif. Kemudian ada juga di Kecamatan Taman, tepatnya di Desa Trosobo, Bohar, Geluran yang dekat dengan pusat kota (Sidoarjo dan Surabaya) dimana perumahan mewah tumbuh pesat menggantikan lahan pertanian.
Percepatan alih fungsi lahan pertanian di Sidoarjo tidak terlepas dari besarnya tekanan ekonomi dan demografi yang terjadi. Sebagai daerah penyangga Surabaya, Sidoarjo mengalami pertumbuhan penduduk yang signifikan, sehingga kebutuhan permukiman pun meningkat drastis. Di sisi lain, nilai ekonomis lahan untuk permukiman jauh lebih menggiurkan bagi pemilik tanah dan untuk harga jualnya bisa mencapai 5-10 kali lipat dibandingkan jika tetap dipertahankan sebagai sawah. Hal ini mendorong banyak petani melepas lahannya, terlebih dengan adanya tawaran tunai dari pengembang.
Fenomena ini juga diperparah oleh masifnya investasi properti dan lemahnya penegakan regulasi tata ruang. Pengembang besar dan kecil berlomba membangun perumahan, memanfaatkan akses transportasi yang semakin terbuka seperti jalan tol dan bandara. Tapi, dinamika ini seringkali tidak diimbangi dengan kebijakan yang protektif terhadap lahan pertanian. Perubahan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) justru kerap mengakomodasi kepentingan investasi, sehingga lahan hijau semakin tergusur oleh pembangunan perumahan.
Apa Dampak dari Fenomena Itu?
Dampak Lingkungan