Mohon tunggu...
novanromadhonii
novanromadhonii Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Novan Romadhoni seseorang yang tidak suka bercerita sana-sini

Selanjutnya

Tutup

Metaverse

Lahan Hijau yang Menghilang : Dampak Perumahan yang Menggerus Pertanian di Sidoarjo

22 September 2025   19:23 Diperbarui: 22 September 2025   19:23 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Internet 

Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan permukiman telah menimbulkan konsekuensi lingkungan yang nyata bagi Sidoarjo. Salah satu dampak paling kritis adalah berkurangnya daerah resapan air secara signifikan. Lahan sawah yang sebelumnya berfungsi sebagai penyerap air hujan alami kini tertutup permukaan kedap air seperti beton dan aspal. Akibatnya, air hujan tidak lagi dapat meresap secara optimal ke dalam tanah, melainkan langsung mengalir ke saluran drainase yang kerap tidak memadai. Kondisi ini memperburuk kerentanan kawasan terhadap banjir, terutama di wilayah-wilayah dataran rendah yang secara tradisional menjadi langganan genangan.

Selain masalah hidrologis, perubahan tutupan lahan juga memicu fenomena urban heat island (pulau panas perkotaan). Permukaan beton dan aspal menyerap lebih banyak radiasi matahari dibandingkan vegetasi, lalu melepaskannya kembali sebagai energi panas. Proses ini menyebabkan suhu udara di kawasan terbangun menjadi lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya yang masih mempertahankan ruang terbuka hijau. Dalam jangka panjang, kenaikan suhu ini tidak hanya mengurangi kenyamanan termal, tetapi juga meningkatkan konsumsi energi untuk pendinginan ruangan.

Dampak lingkungan yang tidak kalah penting adalah hilangnya keanekaragaman hayati. Lahan pertanian yang terfragmentasi dan menyusut mengakibatkan terganggunya koridor ekologis dan habitat berbagai spesies. Burung-burung pemakan serangga, katak, dan berbagai organisme penyeimbang ekosistem semakin sulit ditemui. Perubahan ini mengganggu keseimbangan ekologis yang telah terbentuk puluhan tahun, dimana sebelumnya sawah tidak hanya menghasilkan padi tetapi juga menjadi penopang kehidupan berbagai jenis flora dan fauna.

Dampak Sosial-Ekonomi

Transformasi lahan pertanian menjadi kawasan permukiman tidak hanya mengubah wajah fisik Sidoarjo, tetapi juga meruntuhkan fondasi sosial-ekonomi masyarakat yang selama ini bertumpu pada sektor agraris. Banyak petani kehilangan mata pencaharian akibat terjualnya lahan yang mereka garap puluhan tahun. Meskipun menerima kompensasi finansial, sebagian besar tidak memiliki keterampilan alternatif untuk beralih profesi, sehingga uang penjualan tanah seringkali habis tanpa meninggalkan sumber pendapatan yang berkelanjutan.

Perubahan ini juga mengikis identitas budaya agraris yang menjadi ciri khas Sidoarjo. Tradisi turun-temurun seperti mapag temanten (ritual pernikahan berbasis pertanian) atau festival panen semakin terpinggirkan seiring hilangnya ruang fisik dan sosial yang mendukungnya. Generasi muda kini lebih familiar dengan kehidupan urban ketimbang nilai-nilai kegotongroyongan dan kearifan lokal yang sebelumnya melekat pada masyarakat agraris.

Di tingkat makro, alih fungsi lahan memicu kesenjangan sosial yang kian lebar. Harga tanah yang melambung tinggi---akibat spekulasi properti---menguntungkan pemilik modal besar, sementara masyarakat lokal kesulitan mengakses permukiman layak. Dampaknya, terbentuk enclave-enclave perumahan mewah yang berdampingan dengan permukiman kumuh, mencerminkan fragmentasi sosial yang semakin nyata.

Dampak Ketahanan Pangan

Konversi lahan pertanian di Sidoarjo secara langsung menggerogoti ketahanan pangan lokal yang selama ini dibangun melalui sistem produksi beras dan komoditas pertanian lainnya. Setiap hektar sawah yang beralih fungsi mengurangi pasokan pangan pokok seperti beras, sayuran, dan buah-buahan yang sebelumnya dipasok dari dalam daerah. Data Dinas Pertanian setempat menunjukkan bahwa penurunan luas lahan pertanian sebesar 400 hektar dalam empat tahun terakhir berpotensi mengurangi produksi beras hingga 2.400 ton per tahun, mengasumsikan produktivitas rata-rata 6 ton per hektar.

Dampak jangka panjangnya adalah meningkatnya ketergantungan pada pasokan pangan dari luar daerah, bahkan dari luar pulau. Hal ini tidak hanya berisiko terhadap fluktuasi harga yang tidak stabil akibat biaya logistik dan ketergantungan pada cuaca atau kondisi geopolitik, tetapi juga membuat Sidoarjo rentan terhadap krisis pangan jika terjadi gangguan pada rantai pasok. Sebagai contoh, dalam situasi bencana atau krisis seperti pandemi, ketergantungan pada pasokan eksternal dapat memperparah kerawanan pangan.

Selain itu, hilangnya lahan pertanian juga mengancam diversifikasi pangan lokal yang selama ini menjadi bagian dari budaya konsumsi masyarakat. Komoditas khas seperti mentimun Sidoarjo atau beras varietas unggul perlahan-lahan semakin sulit diproduksi dalam skala besar. Imbasnya, masyarakat tidak hanya kehilangan sumber pangan lokal yang segar dan terjangkau, tetapi juga warisan kuliner yang menjadi identitas kultural daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Metaverse Selengkapnya
Lihat Metaverse Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun