Lihat ke Halaman Asli

Resensi Buku Fiqh Politik Hasan Al-Banna Karya Muhith Muhammad Ishaq

Diperbarui: 27 Mei 2020   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul Buku       : Fiqh Politik Hasan Al-Banna

Penulis              : Muhith Muhammad Ishaq

Penerbit            : Robbani Press

Tempat Terbit: Jakarta

Tahun Terbit  : 2012

Tebal                  : vii + 207 Halaman

Hasan Al-Banna adalah pendiri Jama'ah Ikhwanul Muslimin di Mesir pada tahun 1928. Penyebab terbentuknya IM merupakan reaksi geram beliau dan 5 orang sahabatnya terhadap 2 hal. Pertama, adanya invasi Inggris ke Mesir dengan perjanjian Balfour/ Sayks Bayko antara Prancis dengan 'Inggris', pada Perang Dunia I tahun 1936 yang membuat perpecahan pada wilayah kedaulatan Islam menjadi negara-negara kecil,  termasuk dengan timbulnya konflik Sungai Nil.

Kedua, peristiwa ini menciptakan sejarah pada 3 periode pemerintahan yang terkhianati oleh masing-masing Perdana Menteri Mesir; An-Niqrasyi yang hampir sepaham dengan maksud Al-Banna membebaskan dunia Islam namun dalam prakteknya tetap menghadirkan Mesir sebagai makanan Inggris, An-Nuhas yang viral karena keterangan dirinya sebagai Perdana Menteri Mesir dan bukan Palestina, jelas hal ini menunjukkan betapa 'cuci tangannya' ia terhadap aspirasi masyarakat Mesir yang mendukung pembebasan Palestina, dan juga pada masa Ibrahim Abdul hadi yang dengan kejam memenjarakan para Mujahid Dakwah IM kala itu, hingga ia bertanggungjawab pada pengadilan Allah terhadap pembunuhan berencana Hasan Al-Banna.

Buku ini pada dasarnya bukanlah buku teori politik, namun praktek politik yang secara komprehensif telah diperjuangkan Hasan Al-Banna untuk dakwah Islam. Beliau dikenal sebagai anak dari keturunan Ulama besar yang menulis beberapa buku tafsir hadits. Salah satu pesan ayah beliau adalah: 'Siapa yang menghafal matan, maka ia akan menghimpun banyak ilmu'. 

Sejak berumur 10 tahun, Al-Banna sudah memiliki kelompok bernama 'Jam'iyyah man'il muharramaat' yang berfungsi untuk saling mengirimi surat jika ada salah satu diantara mereka, atau masyarakat Mesir yang berbuat maksiat. Awalnya, masyarakat Mesir mengira pengirim surat itu adalah Syaikh Zuhran, ternyata Syaikh Zuhranpun mendapat surat tersebut setelah shalat di luar pagar Masjid, yang ini adalah perbuatan makruh. Syaikh Zuhranpun meminta pendapat pada Al-Banna, muridnya, tentang hukum perbuatan itu yang ternyata ada dalam Fathul Bari'.

Hasan Al-Bannapun, seperti yang disebut oleh Tanthawi, adalah sosok yang mewarisi hatinya Ali bin Abi Thalib dan akalnya Mu'awiyyah. Juga memiliki kecerdasan politik, kekuatan pemimpin, hujjah ulama, iman kaum sufi, semangat atlet, analogi kaum filsafat, ceramah orator, dan tulisan yang sistematis. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline