Mohon tunggu...
Naurah Nazhifah Azzahra
Naurah Nazhifah Azzahra Mohon Tunggu... Jurnalis - @nouranazhif

A human who learning to be human and humanize human.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resensi Buku Fiqh Politik Hasan Al-Banna Karya Muhith Muhammad Ishaq

10 Maret 2020   10:30 Diperbarui: 27 Mei 2020   00:42 1681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di semua sisi dia tampil dengan luar biasa, seperti cetakan khusus yang hadir di waktu yang tepat, seperti yang dikatakan Robert Jackson. Beliau membawa Islam sebagai gaya hidup. Seorang Muslim tidak sempurna keislamannya sebelum ia menjadi politikus. Menerapkan Fiqh Siyasah dengan akurat, yang mana peradaban Islam sebelum Abad 20 tercipta karena adanya pendalaman wawasan keislamannya, fiqhnya, sejarahnya, juga Al-Qur'annya.

Sungguh, Al-Banna menjadi saksi atas melemahnya kaum Muslimin sejak kembalinya ia dari Hijaz. Runtuhnya Negara-negara timur, Persia, masuk ke jantung kekhilafahan Konstantinopel, hingga penyebarannya ke daerah kejayaan Islam lainnya di Eropa. Ia tidak peduli dengan nama apapun yang pernah digunakan Muslimin selama pergantian kepemimpinan. Imarah yang Amirul Mukminin, Khilafah yang Khalafah, Mamlukah yang Malik, atau Kesultanan yang Sultan. Pada dasarnya, ia menyadari betul bahwa Turki saat itu hanya mengedepankan kemajuan-kemajuan materil-militer dan melupakan pentingnya keilmuan dalam banyak hal, termasuk hilangnya akhlak para pemegang jabatan di sana.

Fiqh siyasah jelas memerlukan kerja akal, tajam analisisnya, jelas pula penerapannya dalam dunia nyata. Sudah seharusnya, pemerintahan Islam hadir sebagai aktualisasi pemikiran masyarakatnya. Sedikitnya 3 sumber yang menjadi rujukan Al-Banna ialah Al-Qur'an dalam kaitannya dengan hukum syariat, As-Sunnah dalam kaitannya dengan muamalah, juga kitab-kitab fiqh para ulama sekelas Al-Mawardi Asy-Syafi'i. 

Maka, adanya degradasi pemahaman ini menyebabkan Muslimin terkepung di dalam pekarangannya sendiri. Banyak media barat yang mempeyoratifkan Islam sebagai agama yang ubudiyyah saja, dan tidak mewajibkan penganutnya untuk membela negaranya. Al-Banna menyebut ini dengan 'Islam Peradaban barat yang Hina'. Maka Al-Banna membawa Fiqh Politik sebagai dasar pemahaman yang ia sebarkan kepada dunia; bahwa Islam, hadir sebagai Rahmatan lil 'alamiin.

Al-Banna menghadirkan beberapa tuntutan kepada penguasa saat itu, dalam Risalah Nahwan Nuur, tentang politik: 1. Menghapus sistem kepartaian, 2. Mengubah UU menjadi UU Islam, 3. Perhatian lebih pada militer dan golongan muda, 4. Relasi yang baik dengan Negara lain, 5. Menyebarkan ruh Islam ke kantor-kantor, 6. Profesionalitas pemisahan urusan pribadi dengan kerjaan, 7. Mengutamakan kinerja dan menjauhi begadang, 8. Menghapus suap, 9. Rotasi pekerjaan tidak terbentur waktu shalat, 10. Pendayagunaan Ulama dalam urusan militer, dsb.

Pemerintahan muslim, menurut Al-Banna bukanlah yang mayoritas masyarakatnya muslim, namun yang secara sistem menerapkan manhaj Islam. Maka, Islam tidak membiarkan ada sekumpulan orang tanpa pemimpin. Bahkan, dalam suatu hadits dikatakan; 'jika kalian bertiga, maka angkatlah salah satu diantara kalian sebagai pemimpin'. Secara rinci, Al-Banna mendaftar beberapa kewajiban Pemerintahan Islam; menjaga keamanan, menyebarkan pendidikan, mempersiapkan kekuatan, menjaga kesehatan, memelihara kemaslahatan umum, mengembangkan aset dan menjaga kekayaan, menguatkan akhlak, juga menyebarkan dakwah. 

Jika kewajiban ini sudah secara seimbang terpenuhi, maka pemerintah berhak mendapatkan haknya untuk dicintai oleh rakyatnya. Namun jika khianat, maka rakyat berhak menasehati dan membimbing mereka, hingga melakukan pencopotan dan pengasingan. Dari sini, kita memahami bahwa kekuatan fisik adalah jalan paling akhir yang bisa dilakukan oleh muslimin dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kafir.

Pemerintahan adalah hal yang prinsipil dalam Islam, ketika yang dibawa adalah kepentingan jama'ah. Sifat perubahan yang gradual (ta'rif, takwin, tanfizh) adalah syarat utama terbentuknya pemerintahan islam. Umat adalah pemberi mandat dan pemerintah adalah eksekutornya. Rasulullah saw. Pernah bersabda: 'setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian'. Maka, sifat manusia yang tidak sempurna mengaharuskan kita untuk memilih wakil dari pemimpin, layaknya perdana menteri, dsb. Hal ini banyak dicontohkan dalam kasus Musa yang mengambil Harun sebagai saudara juangnya dalam surah Thaha: 29-32.

Pemerintahan Islam tentu saja harus dimulai dengan adanya negara-negara Islam di seluruh dunia. Dari tahapan kerja yang disebutkan Al-Banna dalam Majmu'atu Ar-Rasail, maka 3 pilar dasar pemerintahan islam adalah tanggung jawab di hadapan Allah dan manusia, persatuan diatas aqidah, juga menghormati rakyat dengan bermusyawarah bersama mereka. Pemerintahan Islam menjadikan Al-Qur'an sebagai satu-satunya UU yang berlaku, selalu memilih ahlul halli wal aqdi dari golongan ulama mujtahid, pakar urusan umum, dan orang-orang yang memiliki jiwa kepemimpinan.

Dalam perjalanan pemerintahan Mesir, Al-Banna banyak mengkritik soal sistem pemilu yang tidak sesuai dengan tujuan dari pemilu (re: kemaslahatan bersama), namun hanya memenangkan cita-cita satu golongan yang menang, juga kritiknya pada orang-orang yang tak menggunakan hak suaranya sebagai 'mendiamkan kedzaliman', menjatuhkan hukuman pada pelaku suap, dsb.

Al-Bannapun menyinggung persoalan peran dari kaum wanita dalam posisi-posisi publik. Padahal, jelas tugas perempuan yang utama adalah tugas peradaban, mendidik anak-anak di rumah, sampai ada kutipan yang mengatakan bahwa 'jika urusan sudah diputuskan oleh perempuan, maka siap-siaplah menerima kerusakan'. Bukan hanya karena fitnah yang lahir dari fitrahnya, hanya dalil surah An-Nisa: 34 sudah cukup menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan dalam pemenuhan hak pribadi, sipil dan politik, namun tidak dalam kompetensi ruh dan jasadnnya. Rasulullah saw. memberikan contoh dalam pemilihan 12 naqib dalam Baiat Aqabah kedua yang kesemuanya laki-laki, sebab ujung dari ikhtilath adalah hilangnya kehormatan, campur aduknya nasab, kerusakan jiwa, bahkan kehancuran rumah tangga. Masalah perempuan ini, adalah masalah yang orisinil dibawa oleh penjajah barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun