Lihat ke Halaman Asli

Nona Nurillah

hanya manusia biasa

Mengenal Lebih Jauh Pencetus Pendidikan Wanita di Hindia Belanda

Diperbarui: 14 Oktober 2021   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

R. A. Kartini dan Dewi Sartika, sumber: bandung.pks.id

Siapa yang tidak mengenal R. A. Kartini dan Dewi Sartika? Mungkin generasi muda masa kini hanya mengenal R. A. Kartini karena salah satu hari libur nasional digunakan untuk mengenang beliau yang identik dengan penggunaan kebaya bagi pelajar sekolah dasar. Dewi Sartika dan Kartini merupakan dua wanita pelopor pendidikan bagi kaum wanita di Hindia Belanda.

Mungkin, jika bukan karena mereka, wanita di Indonesia kini tidak dapat menempuh pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Tidak hanya itu, diberlakukannya Politik Etis yang diusulkan oleh Van Deventer sedikit banyak memengaruhi kebijakan pendidikan bagi penduduk pribumi.

Kedudukan Wanita Dibandingkan Pria

Kedudukan wanita dipandang lebih rendah dibanding pria pada masa kolonial. Hal tersebut disebabkan karena para wanita dituntut sebagai pelengkap suami (Hartutik, 2015, hlm. 90; Sulistiani dan Lutfatulatifah, 2020, hlm. 122). 

Belum lagi dengan adanya adat istiadat yang dipertahankan oleh penduduk pribumi, seperti masa pingit, poligami, hingga kewajiban wanita untuk melayani suami serta mengurus rumah tangga (Faujiah dan Samsudin, 2020, hlm. 209).

Adanya ketimpangan sosial antara kaum bangsawan dan rakyat biasa juga mengekang wanita karena para bangsawan pada umumnya menjadi prioritas, sedangkan rakyat jelata hanya menjadi abdi dalem atau pelayan mereka. Dibuktikan dengan diberikannya akses sekolah bagi anak laki-laki dari golongan bangsawan.

Usaha Kartini dan Sartika

Pendidikan pada masa penjajahan merupakan hal yang asing bagi wanita, terutama bagi para keturunan pribumi. Wanita pribumi pada masa kolonial tidak diizinkan untuk mengenyam pendidikan. Perjuangan Kartini dan Sartika untuk memberikan pendidikan bagi kaum wanita tidak mudah dilakukan mengingat adanya pandangan meremehkan di kalangan umum.

Ketidakbebasan kaum wanita semakin mendorong Kartini dan Sartika untuk membebaskan kaum wanita dari jeratan masa lalu yang membelenggu. Melihat banyaknya wanita yang buta huruf dibandingkan kaum pria, baik Kartini maupun Sartika menjadi tergerak hatinya untuk merubah masa depan wanita.

Perjuangan Kartini dimulai setelah mendapat izin dari ayahnya serta dukungan dari sahabat penanya di Belanda. Dia mengajarkan membaca dan menulis di lingkungannya, baik anak-anak maupun perempuan. Selain itu, dia biasanya memiliki ide untuk memajukan kehidupan perempuan yang dituliskan dalam setiap suratnya (Hartutik, 2015, hlm. 89).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline