Mohon tunggu...
Nona Nurillah
Nona Nurillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - hanya manusia biasa

salah satu mahasiswi di Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Lebih Jauh Pencetus Pendidikan Wanita di Hindia Belanda

14 Oktober 2021   20:31 Diperbarui: 14 Oktober 2021   21:02 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
R. A. Kartini dan Dewi Sartika, sumber: bandung.pks.id

Siapa yang tidak mengenal R. A. Kartini dan Dewi Sartika? Mungkin generasi muda masa kini hanya mengenal R. A. Kartini karena salah satu hari libur nasional digunakan untuk mengenang beliau yang identik dengan penggunaan kebaya bagi pelajar sekolah dasar. Dewi Sartika dan Kartini merupakan dua wanita pelopor pendidikan bagi kaum wanita di Hindia Belanda.

Mungkin, jika bukan karena mereka, wanita di Indonesia kini tidak dapat menempuh pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Tidak hanya itu, diberlakukannya Politik Etis yang diusulkan oleh Van Deventer sedikit banyak memengaruhi kebijakan pendidikan bagi penduduk pribumi.

Kedudukan Wanita Dibandingkan Pria

Kedudukan wanita dipandang lebih rendah dibanding pria pada masa kolonial. Hal tersebut disebabkan karena para wanita dituntut sebagai pelengkap suami (Hartutik, 2015, hlm. 90; Sulistiani dan Lutfatulatifah, 2020, hlm. 122). 

Belum lagi dengan adanya adat istiadat yang dipertahankan oleh penduduk pribumi, seperti masa pingit, poligami, hingga kewajiban wanita untuk melayani suami serta mengurus rumah tangga (Faujiah dan Samsudin, 2020, hlm. 209).

Adanya ketimpangan sosial antara kaum bangsawan dan rakyat biasa juga mengekang wanita karena para bangsawan pada umumnya menjadi prioritas, sedangkan rakyat jelata hanya menjadi abdi dalem atau pelayan mereka. Dibuktikan dengan diberikannya akses sekolah bagi anak laki-laki dari golongan bangsawan.

Usaha Kartini dan Sartika

Pendidikan pada masa penjajahan merupakan hal yang asing bagi wanita, terutama bagi para keturunan pribumi. Wanita pribumi pada masa kolonial tidak diizinkan untuk mengenyam pendidikan. Perjuangan Kartini dan Sartika untuk memberikan pendidikan bagi kaum wanita tidak mudah dilakukan mengingat adanya pandangan meremehkan di kalangan umum.

Ketidakbebasan kaum wanita semakin mendorong Kartini dan Sartika untuk membebaskan kaum wanita dari jeratan masa lalu yang membelenggu. Melihat banyaknya wanita yang buta huruf dibandingkan kaum pria, baik Kartini maupun Sartika menjadi tergerak hatinya untuk merubah masa depan wanita.

Perjuangan Kartini dimulai setelah mendapat izin dari ayahnya serta dukungan dari sahabat penanya di Belanda. Dia mengajarkan membaca dan menulis di lingkungannya, baik anak-anak maupun perempuan. Selain itu, dia biasanya memiliki ide untuk memajukan kehidupan perempuan yang dituliskan dalam setiap suratnya (Hartutik, 2015, hlm. 89).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun