Komunikasi yang sebelumnya formal dan kaku, kini semakin mencair. Bertemu kerabat, meski kerabat jauh, yang sama-sama menjadi dosen dan sebentar lagi lulus S3 rasanya menjadi lebih enak. Banyak hal bisa diobrolkan, apalagi soal pekerjaan dan berbagai kebijakan di kampus masing-masing.
“Kita pulang bareng saja, ya?”, akupun tak segan menawarinya pulang karena perjalanan kami searah.
"Boleh”, sahutnya seraya bangkit dari tempat duduknya.
“Ntar dari rumahku biar diantar sama anakku, kalua nggak ada biar diantar sopir ke Madiun”, jelasku sambil berjalan dan dengan ekspresi senang diapun mengiyakan.
Tak berapa lama, mobil mungilku sudah keluar kampus dan menyusuri kepadatan lalu lintas kota. Aku sempat terkesiap saat melirik kursi sebelah kiriku dan melihat seorang wanita duduk di sana, karena sejak membelinya sepuluh tahun lalu mobil yang ini hanya aku pakai saat sendirian atau keluar berdua bersama istriku saja. Hampir tidak pernah ada perempuan duduk di sana selain istriku.
“Mas nggak pengen nikah lagi?” tiba-tiba dia membuka pembicaraan di saat aku fokus menembus kemacetan.
“Entahlah… Sampai hari ini nggak terpikir, tapi rasa-rasanya nggak. Sudah terlalu tua” sahutku.
“Emang mas usia berapa?”, tanyanya.
“Lima puluh dua”, sahutku.
“Itu masih muda, mas” sahutnya.
“Hahaha… muda umur 52? Yang benar saja”, sahutku sambil tergelak.