Di era digital yang semakin mendominasi rutinitas harian seperti, belanja online menjadi tren yang tidak dapat terhindarkan di Indonesia. Dengan sebuah alat elektronik seperti halnya ponsel, jutaan warga dari sabang hingga merouke dapat memperoleh barang dengan cara membeli dari mana saja dalam waktu singkat. Sejak pandemi COVID-19, transaksi e-commerce melonjak drastis, mencapai lebih dari Rp300 triliun pada 2023, menurut Bank Indonesia, dengan 150 juta pengguna internet aktif yang berbelanja di online. Fenomena ini bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga transformasi sosial yang mengubah interaksi, pekerjaan, dan identitas di masyarakat. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah e-commerce benar-benar bermanfaat, ataukah justru membuat sistem menjadi semakin dehumanisasi? Untuk mempelajari hal ini, kita merujuk pada konsep George Ritzer dalam The McDonaldization of Society (1993), yang menjelaskan prinsip-prinsip efisiensi, standdar, kepastian, dan kontrol dalam e-commerce.
1. Efisiensi: Cepat dan Praktis, Â Tapi Kehilangan MaknaÂ
 E-commerce mengorbankan sebah kualitas hanya demi menekankan kecepatan, seperti dalam fitur "beli sekarang, bayar nanti" Shopee atau pengiriman cepat melalui Gojek, yang sangat membantu bagi orang-orang sibuk tidak memiliki waktu banyak. Namun, Ritzer  dalam teorinya menjelaskan bahwa fokus ini sering mengabaikan kualitas dan hubungan sosial. Banyak konsumen mengalami penurunan kualitas produk akibat produksi massal di Indonesia, serta pola konsumsi yang berlebihan memicu utang, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah.
2. Kalkulasi: Segalanya Diukur dengan Angka Â
E-commerce mengukur segala sesuatu dengan menggunakan angka dan rating. Contohnya Di Tokopedia, misalnya, kita melihat rating penjual, jumlah ulasan, dan harga diskon yang dihitung secara tepat. Dimana ini membuat konsumen merasa lebih "pintar" dalam berbelanja, karena semuanya bisa diukur. Akibatnya timbul budaya konsumtif di mana orang lebih memilih barang berdasarkan rating tinggi daripada kualitas asli. Â Survei Katadata (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 80% konsumen mengandalkan rating tersebut. Meskipun berguna, hal ini membuat produk lokal seperti batik sulit bersaing.Â
3. Prediktabilitas: Kenyamanan yang Menghilangkan KeberagamanÂ
Prediktabilitas mengacu pada penciptaan pengalaman yang konsisten dan dapat diperkirakan. E-commerce menyediakan proses belanja yang seragam, baik dalam tampilan aplikasi, metode pembayaran, maupun layanan pelanggan. Tapi juga mengurangi mengurangi asensi budaya lokal, seperti halnya Pasar tradisional di Pasar Beringharjo semakin sepi. Selain itu semakin banyaknya limbah plastik dari pengiriman dapat memperburuk polusi lingkungan di Indonesia.
4. Kontrol: Teknologi yang Mengarahkan, tetapi Seringkali Memanfaatkan Algoritma
Prinsip kontrol dalam teori McDonaldisasi berkaitan dengan bagaimana teknologi membentuk perilaku manusia. Di e-commerce, algoritma secara diam-diam memandu kita dalam memilih produk berdasarkan riwayat pencarian dan preferensi. Kita seperti merasa memiliki pilihan, padahal sebuah sistem sduah memutuskan sehingga kita dapat dipengaruhi.
George Ritzer juga menyoroti dari dampak negatifnya, yaitu eksploitasi tenaga kerja besar. Di Indonesia sendiri, terlihat jelas pada para kurir dan driver ojek online yang bekerja dalam tekanan algoritma, dengan pendapatan yang tidak stabil. Laporan dari komunitas pekerja mengungkapkan kekurangan perlindungan sosial bagi mereka yang mendukung rantai distribusi digital. hal ini menunjukkan bahwa teknologi tidak selalu membawa kemakmuran, melainkan memperburuk ketidaksetaraan pekerjaan.
E-commerce mengarahkan pilihan pengguna, tetapi juga memanfaatkan pekerja seperti kurir motor online, yang menghadapi jam kerja panjang tanpa perlindungan. Di Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa teknologi tidak selalu membawa kemakmuran, melainkan memperburuk ketidaksetaraan pekerjaan.