Lihat ke Halaman Asli

Mangasatua Sianipar

Berpengalaman dalam arsitektur dan pengembangan kawasan.

Gemah Ripah Loh Jinawi: Mimpi Yang Jauh Dari Kenyataan

Diperbarui: 12 April 2025   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Ungkapan "Gemah ripah loh jinawi" telah lama menghiasi wacana budaya Nusantara, khususnya dari tradisi Jawa. Frasa ini sering kali digunakan dalam pidato, tulisan, bahkan visi pembangunan untuk menggambarkan Indonesia sebagai negeri yang subur, kaya sumber daya alam, dan sejahtera. Namun, apakah makna mendalam dari ungkapan tersebut masih relevan dengan kondisi faktual Indonesia saat ini?

Secara etimologis, "gemah ripah" berarti melimpah ruah, dan "loh jinawi" berarti tanah yang subur dan kaya. Dalam pandangan filsafat Jawa, frasa ini mencerminkan tatanan masyarakat ideal yang tidak hanya makmur secara materi, tetapi juga damai dan tenteram secara sosial dan spiritual. Apakah istilah ini lebih tepat dipandang sebagai visi atau harapan kolektif ataukah deskripsi keadaan nyata?

Indonesia memang diberkahi keberagaman dan kelimpahan sumber daya alam: dari tambang emas, batu bara, dan nikel, hingga hutan tropis, laut yang luas, serta tanah yang subur untuk pertanian. Namun, data menunjukkan bahwa kontribusi sektor sumber daya alam terhadap pendapatan negara masih relatif kecil. Dalam APBN 2024, total pendapatan negara diproyeksikan mencapai Rp2.802,3 triliun. Dari jumlah ini, kontribusi sektor sumber daya alam diperkirakan hanya sekitar Rp218--240 triliun, atau sekitar 8% dari total penerimaan. Bayangkan! Negara yang mengklaim diri sebagai negara dengan SDA yang melimpah nyatanya berkontribusi untuk penerimaan negara hanya 8%, selebihnya 92% dari penerimaan non-SDA. Kalau merujuk pada data ini harusnya Indonesia tidak tepat mengklaim diri sebagai negara dengan SDA melimpah.

Kalau ditelisik lebih rinci, rendahnya kontribusi SDA tersebut disebabkan oleh beberapa faktor mendasar. Pertama, sebagian besar kekayaan alam Indonesia masih diekspor dalam bentuk mentah, sehingga nilai tambahnya dinikmati negara lain. Kedua, pengelolaan sektor ini sebagian besar dilakukan oleh perusahaan swasta, termasuk asing, dengan porsi royalti dan pajak yang terbatas untuk negara. Porsi terbesarnya justru keuntungan bagi perusahaan non-pemerintah tersebut. Ketiga, tidak sedikit kasus kebocoran pendapatan akibat lemahnya pengawasan, korupsi, serta praktik transfer pricing. Keempat, banyak potensi kekayaan alam yang masih belum tergarap secara optimal karena keterbatasan infrastrukturnya, teknologi dan kemampuan sumber daya manusia.

Realitas ini menunjukkan bahwa frasa "gemah ripah loh jinawi" lebih merepresentasikan semangat dan harapan daripada potret ekonomi yang aktual. Meski kekayaan alam Indonesia mungkin benar melimpah dalam artian kuantitas dan potensi, pemanfaatannya masih jauh dari optimal untuk mendukung kesejahteraan rakyat secara luas.

Namun, bukan berarti kita harus pesimistis. Justru ungkapan ini dapat dijadikan sebagai pengingat akan potensi besar yang dimiliki bangsa ini. Untuk itu, diperlukan langkah konkret dan berani dalam reformasi pengelolaan sumber daya alam. Hilirisasi industri harus menjadi prioritas utama agar Indonesia tidak lagi hanya menjadi pemasok bahan mentah. Regulasi dan sistem perpajakan di sektor ekstraktif perlu diperkuat dan dibuat lebih adil. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik harus diperluas agar pengelolaan kekayaan alam benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat.

Lebih dari itu, pembangunan ekonomi Indonesia harus dibangun di atas pondasi budaya dan kearifan lokal. Spirit "gemah ripah loh jinawi" hendaknya menjadi arah dan cita-cita bersama, bukan sekadar hiasan retoris. Hanya dengan pengelolaan yang adil, bijak, dan berkelanjutan, makna dari ungkapan luhur ini bisa benar-benar terwujud.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline