Lihat ke Halaman Asli

Ananda Rizqi Rachmawati

Mahasiswa Hubungan Internasional

Myanmar dan Harga Mahal Mengabaikan Risiko Politik

Diperbarui: 28 April 2025   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam dekade terakhir sebelum 2021, Myanmar sering disebut sebagai "permata tersembunyi" Asia Tenggara. Dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan yang stabil di angka enam hingga tujuh persen menurut laporan Bank Dunia, negara ini tampak menjanjikan bagi investor global. Pemerintah Myanmar, yang saat itu berada dalam proses transisi demokrasi, membuka pasar untuk investasi asing dalam sektor energi, telekomunikasi, dan infrastruktur.

Tahun 2019 mencatat rekor, di mana total investasi asing langsung (FDI) yang masuk mencapai lebih dari 5,5 miliar dolar Amerika Serikat. Banyak perusahaan multinasional berlomba menanamkan modal, melihat Myanmar sebagai pasar baru dengan populasi besar dan sumber daya alam yang kaya. Optimisme membuncah, dan dalam banyak studi investasi, Myanmar diposisikan sebagai salah satu destinasi ekonomi masa depan di Asia.

Namun, semua prediksi positif itu runtuh dengan satu peristiwa: kudeta militer pada 1 Februari 2021. Krisis politik ini membekukan pemerintahan terpilih dan memicu gelombang demonstrasi sipil, kekerasan politik, serta pembalasan keras dari junta militer. Kepercayaan pasar langsung ambruk. Laporan UNCTAD menunjukkan bahwa hanya dalam satu tahun setelah kudeta, investasi asing yang masuk ke Myanmar anjlok hingga lebih dari 90 persen.

Krisis ini menandai berakhirnya era optimisme atas Myanmar sebagai bintang baru Asia Tenggara.

Dampak Kehancuran terhadap Perusahaan Multinasional

Kudeta militer di Myanmar tidak hanya menghancurkan perekonomian domestik, tetapi juga menyeret banyak perusahaan multinasional ke dalam dilema besar. Sejumlah perusahaan besar harus memilih antara tetap beroperasi dan berisiko terlibat dalam legitimasi rezim represif, atau menarik diri dan menanggung kerugian finansial besar.

Contoh paling nyata adalah keputusan TotalEnergies dan Chevron untuk menarik diri dari proyek gas Yadana, salah satu sumber energi vital Myanmar. Di sektor telekomunikasi, Telenor Group dari Norwegia menghadapi tekanan besar dari junta militer terkait penyediaan data pengguna, sehingga memaksa mereka menjual operasi mereka kepada perusahaan lokal yang dekat dengan militer. Langkah-langkah ini diambil bukan hanya karena pertimbangan finansial, tetapi juga untuk menjaga reputasi global di tengah meningkatnya perhatian terhadap isu hak asasi manusia di Myanmar.

Bagi perusahaan-perusahaan tersebut, kerugian finansial mungkin bisa dihitung. Namun, kerusakan reputasi, kepercayaan konsumen, dan hubungan dengan komunitas internasional menjadi konsekuensi yang jauh lebih berat dan memerlukan waktu panjang untuk dipulihkan.

Analisis: Mengabaikan Country Risk adalah Kesalahan Besar

Kasus Myanmar memperjelas bahwa risiko politik bukan sekadar faktor tambahan dalam analisis investasi, melainkan faktor kunci yang menentukan kelangsungan bisnis. Banyak perusahaan tergoda oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan potensi pasar baru, tanpa mencermati fondasi politik yang rapuh dan ketidakstabilan sosial yang terus mengintai.

Analisis country risk sering kali terpinggirkan oleh proyeksi laba dan optimisme pasar. Namun, pengalaman di Myanmar menunjukkan bahwa mengabaikan faktor politik dapat dengan cepat membalikkan seluruh rencana bisnis. Keputusan untuk berinvestasi tidak boleh hanya berdasarkan data ekonomi makro, tetapi harus mencakup pemahaman mendalam tentang kekuatan politik domestik, potensi konflik, dan komitmen negara terhadap supremasi hukum dan hak asasi manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline