- Adi Candra prayoga
- Dela Wahyu Ningsih
- Aryafarda Kendana D.
- Nadiva prahayudya
- Puspita Indahu Wardah
- Milza Rifka Nur Jannah
BAGIAN 15: New challenges for twenty-first-century environmental movements: agricultural biotechnology and nanotechnology by Maria Kousis
(Tantangan baru untuk abad kedua puluh satu gerakan lingkungan: pertanian
bioteknologi dan nanoteknologi oleh Maria Kousis)
Gerakan sosial baru menjadi bagian dari dinamika ini, dengan karakter yang
berbeda dari gerakan abad ke-20 lebih terinternasionalisasi, melibatkan LSM, dan memanfaatkan teknologi dalam organisasi serta tuntutan mereka (Tilly, 2004). Tilly mengidentifikasi empat skenario masa depan gerakan sosial: (1) pergeseran bertahap ke arah konfederasi global, (2) kemunduran demokrasi di negara maju tetapi potensi demokratisasi di negara otoriter seperti China, (3) dominasi gerakan oleh aktor profesional seperti LSM dengan mengurangi keterlibatan lokal, dan (4) ketidakmungkinan kemenangan absolut gerakan sosial sesuai cita-cita awalnya.
Tilly (1994) mendefinisikan gerakan sosial sebagai tantangan berkelanjutan
terhadap pemegang kekuasaan, yang dapat berbentuk gerakan profesional, berbasis komunitas, atau gerakan radikal. Klasifikasi ini sejalan dengan tipologi gerakan lingkungan dalam sosiologi lingkungan (Humphrey & Buttel, 1982; Dunlap & Mertig, 1991), yang membedakan tiga bentuk utama: organisasi formal (seperti LSM lingkungan), kelompok akar rumput, dan gerakan ekologi radikal. Gerakan lingkungan tidak hanya menuntut perubahan kebijakan tetapi juga memperjuangkan transformasi ekologis
melalui strategi yang beragam, mulai dari lobi hingga aksi langsung.
Perkembangan teknologi, terutama internet, telah memperluas jangkauan gerakan sosial lingkungan, memfasilitasi mobilisasi transnasional dan advokasi global (Tilly, 2004; Smith & Fetner, 2007). LSM lingkungan berperan dalam lobi, pendidikan, dan tata kelola global, membentuk identitas kolektif yang melampaui batas nasional (Princen & Finger, 1994). Selain itu, partisipasi publik dalam isu-isu seperti transgenik menunjukkan pergeseran dari pendekatan teknokratis menuju inklusi wacana etika dan emosional, memperluas ruang demokratis dalam pengambilan keputusan lingkungan (PAGANINI,
2007; Gottweis et al., 2008).
Pada Bagian Peluang dan Batasan (Opportunities and Constraints) terdapat paragraf yang menyinggung gerakan lingkungan:
"The development of the environmental movement is strongly influenced by a country's political, economic and cultural context. For example, the different electoral systems between the US (winner-takes-all) and West Germany (proportional representation) shape
different patterns of the environmental movement (McAdam et al.,1996). European integration and globalization also opened up new opportunities, such as the use of EU institutions (European Court of Justice, European Parliament) for environmental advocacy, shifting power away from national states (Marks & McAdam, 1996; Kousis & Eder, 2001).
Since the 1980s, transnational environmentalism developed, facing
challenges from neoliberal policies and sustainable development (Finger, 1992; Jamison, 2001). In the 1990s, the commercialization of science and technology in the US and EU created new challenges for environmental activists (Kousis, 2004). Meanwhile, Eastern European countries, the former Soviet Union and China experienced unique
environmental movement dynamics (Yanitsky, 1999; Ho et al., 2006). Environmental movements also interact with discourses of sustainable development and ecological modernization, often polarized between
economic versus transformative approaches (Kousis, 2004). The institutionalization of the environmental movement is increasingly professionalized, while issues of biotechnology and nanotechnology
are still less explored. Environmental organizations not only adopt ecological modernization, but also compete in the economics of sustainability, even forming market-based consulting agencies (van
der Heijden, 1999; Brand, 1999)."
Perkembangan gerakan lingkungan menunjukkan dinamika yang kompleks,
dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi, dan budaya. Di tingkat nasional, sistem politik seperti pemilihan umum dan kebijakan negara membentuk karakter gerakan, seperti perbedaan antara gerakan lingkungan di AS dan Jerman Barat. Sementara itu, globalisasi dan integrasi regional (seperti Uni Eropa) membuka peluang baru bagi aktivis,
memungkinkan advokasi melalui lembaga supranasional. Sejak 1980-an, gerakan
lingkungan semakin transnasional, menghadapi tantangan neoliberalisme sekaligus memanfaatkan peluang ekonomi hijau. Di negara-negara pasca-sosialis seperti Eropa Timur dan China, gerakan ini berkembang dalam konteks transformasi politik yang unik. Selain itu, terjadi profesionalisasi gerakan lingkungan, dengan organisasi yang tidak
hanya fokus pada protes tetapi juga terlibat dalam konsultasi kebijakan dan ekonomi berkelanjutan. Perkembangan ini menunjukkan pergeseran dari gerakan akar rumput yang radikal menuju bentuk yang lebih terlembaga, sambil terus beradaptasi dengan tantangan ekologis global.
Ketidakadilan distribusi manfaat dan risiko GMO (Genetically Modified Organism) atau dikenal sebagai Organisme Hasil Rekayasa Genetika (ORR) atau Produk Rekayasa Genetika (PRG) antara negara Utara dan Selatan mencerminkan ketimpangan ekologis
yang mendalam. Negara-negara Selatan, yang lebih menekankan ketahanan pangan dan kedaulatan pengetahuan lokal, sering kali menghadapi dampak yang tidak proporsional dari teknologi ini. Sementara itu, negaranegara Utara cenderung fokus pada isu kesehatan dan lingkungan, mengabaikan ketidakseimbangan kekuasaan dan akses
yang memperparah ketidakadilan global.
Dalam Subbab Anti-GMO environmental movement(s) in the making (Gerakan
lingkungan anti-transgenik yang sedang berlangsung) terdapat ringkasan seperti:
"The development of commercial science and technology in the 1980 sgave birth to genetically modified (GM) products, which triggered diverse responses from social actors. The anti-GM movement
demanded a reconsideration of the human-nature relationship, sustainability, scientific accountability and democracy in the neoliberal
era (Brooks, 2005). The movement influenced global biotechnology regulation, prompting the EU and US to adopt strict regulatory regimes despite economic challenges (Schurman & Kelso, 2003; Eaton, 2009). However, critics of the movement highlighted the need for collaboration with scientists for alternative strategies (Buttel, 2005).
The interconnectedness of the environmental and anti-GM movements is seen in digital activism, where environmental organizations integrate GM issues into online campaigns. An analysis of 161 online environmental organizations grouped them into three themes: environmental-global (climate change, biodiversity), environmental-bio (genetic engineering, organic farming), and environmental-toxic (pollution, environmental justice) (Ackland & O'Neil, 2008). The majority are based in the US and UK, with bio-environmental groups beginning to touch on nanotechnology issues."
Ketidakadilan distribusi manfaat dan risiko GMO antara negara Utara dan Selatan mencerminkan ketimpangan ekologis struktural, di mana Global North mendominasi pengembangan teknologi sementara Global South menanggung dampak sosial-ekonominya. Fenomena ini tidak terlepas dari sejarah komersialisasi bioteknologi sejak
1980-an, yang melahirkan produk GM sekaligus memicu resistensi dari gerakan sosial. Gerakan anti-transgenik muncul sebagai respons terhadap logika neoliberal yang mengabaikan keberlanjutan ekologis dan kedaulatan pengetahuan lokal (Brooks, 2005), terutama di negara Selatan yang lebih memprioritaskan ketahanan pangan. Sementara itu, negara Utara melalui regulasi ketat di Uni Eropa dan AS (Schurman & Kelso, 2003; Eaton, 2009) cenderung fokus pada risiko kesehatan dan lingkungan, memperlihatkan bias geopolitik dalam kebijakan GMO.
Kritik terhadap gerakan anti-transgenik (Buttel, 2005) juga mengungkap dilema: upaya melawan dominasi korporasi bioteknologi sering gagal mengatasi ketimpangan Utara-Selatan secara sistematis. Hal ini tercermin dalam aktivisme digital, di mana organisasi lingkungan mayoritas berbasis di AS dan Inggris (Ackland & O'Neil, 2008) lebih banyak membahas isu rekayasa genetika (lingkungan-bio) daripada ketidakadilan
distribusinya di Global South. Dominasi narasi Utara dalam advokasi online memperparah kesenjangan partisipasi, meskipun isu seperti biopiracy dan hak paten sebenarnya sangat relevan bagi negara Selatan.