Setiap kali nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS, masyarakat Indonesia sering kali merasakan dampaknya secara langsung. Harga barang impor naik, biaya produksi meningkat, dan daya beli mulai tergerus. Fenomena yang dikenal sebagai devaluasi ini bukan sekadar fluktuasi pasar yang biasa, namun dapat memengaruhi perekonomian secara menyeluruh.
Devaluasi adalah penurunan nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang asing secara disengaja atau sebagai akibat dari tekanan pasar. Dalam sistem nilai tukar mengambang seperti di Indonesia, depresiasi atau pelemahan rupiah kerap terjadi akibat ketidakseimbangan permintaan dan penawaran valuta asing. Penyebabnya bisa beragam, mulai dari ketidakpastian global, defisit transaksi berjalan, hingga sentimen investor terhadap kondisi politik dan ekonomi domestik. Secara teori, devaluasi dianggap sebagai alat untuk meningkatkan daya saing ekspor. Namun, dalam praktiknya, efek devaluasi tidak pernah bersifat netral. Ia memiliki konsekuensi luas, terutama terhadap harga barang dan struktur biaya di dalam negeri. Oleh karena itu, kita tidak bisa hanya melihat devaluasi dari kacamata ekonomi semata.
Dampak paling langsung dan terasa dari devaluasi adalah meningkatnya harga barang impor. Produk-produk seperti elektronik, otomotif, alat kesehatan, dan bahan baku industri mayoritas dipasok dari luar negeri dan dibayar dalam mata uang asing. Ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah, maka harga barang-barang tersebut otomatis ikut naik. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 74% bahan baku industri Indonesia masih bergantung pada impor. Ketika kurs rupiah melemah, biaya bahan baku melonjak. Efeknya menyebabkan produsen menaikkan harga jual, konsumen menanggung inflasi. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa tekanan inflasi inti cenderung meningkat pada periode depresiasi rupiah, menunjukkan bahwa efek devaluasi tidak hanya jangka pendek. Bahkan lebih jauh, imported inflation (inflasi akibat kenaikan harga impor) bisa menekan daya beli masyarakat. Menurut survei Indeks Keyakinan Konsumen oleh BI, pelemahan rupiah kerap diikuti penurunan keyakinan konsumen. Masyarakat menahan konsumsi karena harga barang naik, sementara pendapatan stagnan. Saya menilai bahwa dalam kondisi seperti ini, devaluasi justru memperdalam ketimpangan sosial. Kelompok masyarakat berpendapatan rendah paling terdampak karena proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok mereka jauh lebih besar. Dengan kata lain, kebijakan moneter yang menyebabkan depresiasi rupiah bisa berujung pada penderitaan sosial jika tidak dibarengi kebijakan fiskal yang berpihak.
Di sisi lain, devaluasi memang bisa menciptakan peluang, khususnya untuk sektor ekspor. Harga produk Indonesia menjadi lebih murah bagi pembeli luar negeri, sehingga lebih kompetitif. Banyak pelaku ekspor Indonesia, terutama di sektor manufaktur, masih bergantung pada bahan baku impor. Sehingga meskipun harga jual naik, biaya produksi pun naik. Margin keuntungan tidak selalu bertambah. Bahkan dalam beberapa kasus, pelaku usaha justru mengalami kerugian karena tidak mampu memenuhi permintaan ekspor akibat keterbatasan pasokan atau ongkos logistik yang melonjak. Menurut data Kementerian Perdagangan, sektor ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas mentah seperti batu bara, kelapa sawit, dan nikel. Ketika devaluasi terjadi, negara bisa meraup devisa dari ekspor, tetapi nilai tambah di dalam negeri tidak signifikan. Produk-produk manufaktur yang bisa menciptakan lapangan kerja justru tidak tumbuh optimal karena infrastruktur dan kebijakan industri belum cukup kuat. Saya menilai bahwa mengandalkan devaluasi sebagai strategi jangka panjang untuk meningkatkan ekspor adalah kebijakan yang rapuh. Tanpa industrialisasi yang terencana, manfaat devaluasi hanya akan dinikmati segelintir eksportir besar, sementara masyarakat umum tetap harus menanggung lonjakan harga.
Devaluasi bukanlah solusi bagi perekonomian. Ia bisa menjadi alat untuk mendorong ekspor, tetapi juga bisa menjadi penyebab inflasi, menurunnya daya beli, dan meningkatnya ketimpangan jika tidak ditangani dengan kebijakan makro yang seimbang. Saya percaya bahwa dalam konteks Indonesia, devaluasi harus diikuti dengan reformasi struktural, mulai dari penguatan sektor produksi dalam negeri, diversifikasi ekonomi, hingga peningkatan efisiensi logistik. Pemerintah juga harus melindungi masyarakat kecil dari dampak buruk devaluasi melalui bantuan langsung, subsidi yang tepat sasaran, dan kebijakan harga yang terkendali. Jika tidak, pelemahan nilai tukar hanya akan menjadi beban tambahan bagi rakyat, dan bukan peluang untuk membangun ekonomi yang lebih kuat dan berdaulat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI