Lihat ke Halaman Asli

Ibnu Abdillah

... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

Madura Terdampak Gempa, Hoaks Merajalela!

Diperbarui: 13 Oktober 2018   12:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Doc. Pribadi

Sebelumnya, boleh percaya dan sah saja menolaknya, asalkan jangan sampai ada "cebong" dan "kampret" di antara kita. Jangan! Ini rumusnya.

__________

Tulisan ini tidak berangkat dari sebuah "jangkar metafisis" (duh, bahasanya), bahwa semua kita telah kehilangan kewarasan kita. Tidak. Tapi secara sederhana, tulisan ini ingin menguatkan kembali keyakinan kita, bahwa hoaks itu ada. Ia nyata. Sedemikian tak terasa, bahwa secara pelan ia merusak sistem logika dan kewarasan kita.

Kejadian beberapa pekan terakhir, dan semakin menguat semenjak mencuatnya kasus Emak Ratna, semakin mempertebal rasa percaya kita, bahwa hoaks itu teramat bahaya. 

Siapa saja, termasuk pemerintah sebagai "pelaku utamanya", kata Rocky Gerung. Terakhir, ketika Madura sedang berduka karena terdampak bencana (terparah di Kabupaten Sumenep), justru hoaks semakin merajalela. Efeknya bahkan melebihi dampak gempanya. Efek psikologis, tentu saja.

Berdasarkan informasi yang bertebaran di WA dan Facebook, entah darimana asalnya, konon, akan ada gempa susulan. Memanfaatkan ketakutan dan trauma, hoaks berjalan lancar. Di banyak tempat, warga lalu beramai tidur di teras, emperan, dan bahkan menggelar terpal di halaman rumah. Mereka takut terjadi gempa susulan.

Banyak teman saya yang story-nya berisi gambar warga yang tiduran atau santai di depan rumah. Ada juga klarifikasi bahwa pihak tertentu tidak pernah menyampaikan akan terjadi gempa. Termasuk juga mereka yang sadar lalu mengumpati mereka yang dengan kejamnya memberikan informasi hoaks. Bahkan, ponakan saya tidak nyenyak tidurnya ketika mendapatkan informasi dari gurunya, bahwa akan terjadi gempa susulan, entah dini hari atau pagi dan mungkin juga siang. Informasi hoaks dari gurunya! Bayangkan...

Kegaduhan dan ketakutan itu diikuti dengan informasi penggiring sebagai legitimasi. Bertebaran juga dawuh Kiai, ada yang menyuruh begitu dan begini, memasak dan membuat sajian seperti itu dan seperti ini, lalu diembel-embeli dengan "ancaman" halus, bahwa jika diacuhkan, akan berakibat fatal dan menyengsarakan. Semacam SMS dan broadcast dulu, dimana kalau tidak ikut menyebarkan akan mendapatkan kesedihan dan "kehancuran".

Hasilnya? Tak ada gempa karena memang tak ada yang mengetahui informasi pastinya.

Sebenarnya tidak kali ini saja. Hampir setiap ada kegaduhan, bahkan bencana, selalu ada potensi besar "hoakisasi" massal. Pada Gempa sebelumnya, di Palu, Sigli, dan Donggala, bahkan ada hoaks menyebar melalui WA soal penawaran menjadi keluarga asuh dari anak kecil korban gempa yang kehilangan orang tua dan para informasi soal para janda, lengkap dengan nomornya! Luar biasa runtuhnya kewarasan manusia. Aneh? Satu sisi, iya. Tapi di sisi yang lain, akan selalu ada manusia yang suka tertawa di atas derita sekelilingnya. Akan selalu ada.

Kejadian itu menyadarkan kita semua betapa hoaks itu sangat merusak. Bahkan saat sedang berduka, ada saja yang memanfaatkan ketakutan di tengah masyarakat yang secara psikologis tak tenang untuk menciptakan kengerian baru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline