Lihat ke Halaman Asli

Hijau-Hijauan di Tanah Tambang: Realita atau Retorika?

Diperbarui: 28 April 2025   11:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Green economy atau ekonomi hijau sering dipromosikan sebagai solusi masa depan dalam menghadapi krisis iklim global. Konsep ini menekankan pada pembangunan yang ramah lingkungan, efisien dalam penggunaan sumber daya, dan rendah emisi karbon. Salah satu simbol utama dari narasi ini adalah kendaraan listrik yang dinilai lebih bersih dibanding kendaraan berbahan bakar fosil. Penggunaan mobil listrik dianggap sebagai langkah progresif dalam mengurangi polusi udara dan memperlambat laju pemanasan global.

Namun, di balik citra ramah lingkungan tersebut, tersembunyi praktik yang bertentangan dengan semangat keberlanjutan itu sendiri. Di Indonesia, industri kendaraan listrik sangat bergantung pada ketersediaan nikel sebagai bahan baku utama baterai. Hal ini mendorong ekspansi besar-besaran pertambangan nikel, terutama di wilayah timur Indonesia, yang justru menimbulkan kerusakan lingkungan, deforestasi, dan konflik sosial. Ironisnya, atas nama ekonomi hijau, praktik eksploitasi lingkungan terus berlangsung dalam skala masif.

Tulisan ini akan membahas secara kritis: pertama, bagaimana kendaraan listrik mendorong laju pertambangan nikel di Indonesia; kedua, kontradiksi antara narasi "pertambangan hijau" dan kenyataan di lapangan; serta ketiga, perlunya redefinisi konsep green economy yang lebih adil secara ekologis dan sosial.

Dampak Lingkungan dari Tambang Nikel

Produksi kendaraan listrik bergantung pada material seperti nikel yang digunakan sebagai bahan utama baterai, yang diekstraksi melalui tambang-tambang besar di Indonesia. Sejak 2019, ekspor nikel Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2024, volume ekspor nikel mencapai 1,92 juta ton, naik 53% dibandingkan tahun sebelumnya, dengan nilai ekspor mencapai US$7,99 miliar . Lonjakan ini sejalan dengan dorongan hilirisasi industri dan meningkatnya permintaan global akan kendaraan listrik.

Namun, ekspansi industri nikel ini membawa dampak serius terhadap lingkungan. Di Halmahera, Maluku Utara, setidaknya 5.331 hektar hutan tropis telah ditebang dalam konsesi pertambangan nikel, melepaskan sekitar 2,04 juta ton gas rumah kaca yang sebelumnya tersimpan di hutan tersebut . Selain itu, pembangunan smelter dan fasilitas pendukungnya turut menyebabkan deforestasi tambahan seluas 5.031 hektar . Di Sulawesi Selatan, aktivitas pertambangan nikel oleh PT Vale Indonesia telah mendorong deforestasi yang luas dalam satu dekade terakhir, dengan konsesi tambang seluas 70.566 hektar .

Tidak hanya kerusakan hutan, pertambangan nikel juga menyebabkan pencemaran air dan konflik sosial. Di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, aktivitas pertambangan telah menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta memicu konflik kepentingan atas lahan dan sumber daya . Laporan WALHI menunjukkan bahwa banyak perusahaan tidak menjalankan reklamasi pasca tambang sesuai ketentuan, meninggalkan lubang-lubang tambang yang membahayakan lingkungan dan masyarakat sekitar .

Alih-alih menjadi solusi, industri nikel justru menciptakan bentuk baru dari kerusakan ekologis yang bertentangan dengan semangat keberlanjutan yang diusung oleh ekonomi hijau.

Retorika “Pertambangan Hijau”

Istilah “pertambangan hijau” kerap digunakan sebagai legitimasi praktik industri, terutama dalam sektor pertambangan nikel yang mendukung produksi kendaraan listrik. Beberapa perusahaan menyatakan telah menggunakan teknologi ramah lingkungan dalam operasional mereka. Namun, data aktual menunjukkan minimnya pengawasan dari pemerintah dan pihak terkait terhadap klaim-klaim tersebut.

Pemerintah Indonesia fokus pada pembangunan smelter dan hilirisasi industri nikel sebagai bagian dari strategi ekonomi nasional. Namun, perhatian terhadap dampak lingkungan lokal seringkali terabaikan. Proyek-proyek besar seperti Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Kalimantan Utara, yang diklaim sebagai kawasan industri hijau terbesar di dunia, justru menuai kritik karena dianggap mengabaikan keselamatan lingkungan dan masyarakat lokal. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline