Dalam falsafah masyarakat Jawa, Diajarkan kepemimpinan tidak pernah dipandang sekadar urusan jabatan atau kekuasaan. Lebih dari itu, kepemimpinan adalah amanah luhur yang harus dijalankan dengan kebijaksanaan. Seorang pemimpin dituntut mampu menata diri, menjaga rakyat, serta menghadirkan kesejahteraan. Dalam tradisi Jawa, salah satu ajaran yang begitu kuat mengakar dalam hal kepemimpinan adalah Hasta Brata delapan laku kepemimpinan yang terinspirasi dari alam semesta.
Ajaran ini tidak lahir dari buku teori politik modern atau rumusan akademik yang rumit. Hasta Brata tumbuh dari kearifan lokal, dari cara orang Jawa memandang dunia. Alam bukan hanya ruang hidup, tetapi juga guru kehidupan. Matahari, bulan, bumi, bintang, api, air, samudra, dan angin. Semuanya menyimpan pelajaran tentang bagaimana seorang pemimpin seharusnya bersikap.
Matahari: Memberi Kehidupan Tanpa Pilih Kasih
Seorang pemimpin sejati bagaikan matahari. Ia bersinar tanpa membeda-bedakan siapa yang berhak mendapat sinarnya. Semua orang, tanpa terkecuali, merasakan manfaatnya. Seorang pemimpin tidak boleh pilih kasih, apalagi hanya berpihak pada kelompok tertentu. Cahaya kepemimpinannya harus menerangi semua, dari rakyat kecil hingga pejabat tinggi, dari desa hingga kota.
Matahari mengingatkan bahwa kepemimpinan bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk memberi kehidupan bagi orang banyak.
Hujan: Membawa Kesuburan dan Harapan
Hujan turun dengan lembut, menyuburkan tanah, menumbuhkan padi, dan memberi minum bagi makhluk hidup. Dari hujan, kita belajar bahwa seorang pemimpin harus menghadirkan kesejahteraan, menumbuhkan harapan, dan memberikan kesempatan rakyatnya berkembang.
Hujan tidak hanya basah, ia juga membawa kehidupan. Begitulah pemimpin: kehadirannya harus memberi ruang bagi rakyat untuk tumbuh, bukan justru membuat mereka layu.
Api: Memberi Semangat dan Keberanian
Api melambangkan keberanian dan daya juang. Pemimpin yang baik tidak boleh takut mengambil keputusan, sekalipun berisiko. Ia berani berdiri di garis depan, berani membela yang benar, sekaligus mampu menyalakan semangat orang-orang di sekitarnya.
Namun api juga harus dikendalikan. Jika terlalu besar, ia bisa membakar. Maka pemimpin yang bijak tahu kapan harus berani, dan kapan harus menenangkan.
Angin: Hadir di Mana-Mana, Meski Tak Terlihat
Angin adalah lambang kehadiran yang lembut namun nyata. Kita tidak selalu melihat angin, tetapi kita bisa merasakan hembusannya. Pemimpin sejati tidak selalu harus tampil di depan kamera atau di atas panggung. Ia bisa bekerja diam-diam, tetapi rakyat tetap merasakan manfaatnya.
Angin mengajarkan bahwa kepemimpinan bukan sekadar pencitraan, melainkan tentang kehadiran yang memberi rasa aman dan nyaman.