Di tengah pertumbuhan penduduk yang pesat dan keterbatasan lahan pertanian di perkotaan, muncul satu tren yang menarik perhatian, urban farming atau pertanian kota.
Fenomena ini berkembang dari kebutuhan akan pangan yang lebih mandiri, sehat, dan berkelanjutan di tengah padatnya hunian dan terbatasnya ruang hijau.
Urban farming menjadi alternatif yang memungkinkan masyarakat kota untuk tetap produktif secara agrikultur, meski hanya dengan lahan sempit di halaman rumah, atap gedung, atau bahkan dalam pot-pot kecil di balkon apartemen.
Urban Farming: Lebih dari Sekadar Tren
Urban farming bukanlah konsep baru, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, minat terhadap praktik ini meningkat pesat.
Perubahan gaya hidup, kesadaran akan pentingnya pangan sehat, serta kekhawatiran terhadap keberlanjutan sistem pangan global menjadi pendorong utamanya.
Ditambah lagi, pandemi COVID-19 sempat membuka mata banyak orang akan pentingnya memiliki akses langsung terhadap sumber makanan, tanpa terlalu bergantung pada pasokan dari luar kota.
Kini, urban farming tidak lagi dipandang sebagai kegiatan iseng atau sekadar pelengkap estetika rumah. Ia telah berevolusi menjadi bagian dari solusi sistemik yang menggabungkan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Di berbagai kota besar dunia, termasuk di Indonesia, kita mulai melihat banyak inisiatif urban farming bermunculan baik secara individu maupun kolektif, dari rumah tangga kecil hingga skala komunitas dan institusi.
Dengan dukungan teknologi sederhana seperti hidroponik, aquaponik, atau sistem vertikal, siapa pun bisa memulai pertanian kota meski hanya dengan lahan terbatas.