Kalau poskamling benar-benar dihidupkan kembali, apakah lingkungan kita siap? Pertanyaan itu membuat saya teringat pada sebuah bangunan kecil di kampung saya, yang dulu kami sebut brak. Bukan sekadar pos ronda, tapi ruang kebersamaan, tempat cerita, bahkan simbol gotong royong warga. Dari kentongan, tongkat giliran ronda, sampai suara bambu yang dipukul saat patroli malam, semuanya masih membekas hingga kini.
Saya lahir dan dibesarkan di sebuah desa kecil di Krangganharjo, kecamatan Toroh kabupaten Grobogan. Kabupaten Grobogan ini berbatasan dengan Kabupaten Demak dan Semarang di sebelah barat; Kabupaten Kudus, Pati, dan Blora di sebelah utara; Kabupaten Blora di sebelah timur; serta Kabupaten Sragen, Boyolali, Ngawi, dan Semarang di sebelah Selatan. Dari kota Semarang ke arah timur sejauh kurang lebih 60 km untuk menuju Purwodadi, ibukota kabupaten Grobogan.
Saat saya kecil, di pertengahan tahun 80--90-an, istilah poskamling bukanlah istilah asing. Poskamling atau Pos Keamanan Lingkungan adalah pos jaga yang didirikan dan dikelola masyarakat untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan kenyamanan lingkungan. Kami biasa menyebutnya pos ronda dalam bahasa Indonesia, karena dipakai bapak-bapak untuk melakukan ronda malam. Tapi entah siapa yang menamainya, di kampung kami saat kecil kami biasa menyebut pos ronda itu dengan istilah "brak" dalam percakapan sehari-hari.
Kami tidak tahu apa arti brak saat itu, yang kami tahu hanya untuk menyebut bangunan kecil berbentuk rumah dari kayu tempat bapak-bapak kumpul untuk jaga malam. Istilah brak ini sudah umum diketahui oleh teman-teman. Hingga akhirnya saat ini saya penasaran, apa arti brak ini sebenarnya? Saya menduga brak ini berasal dari kata "barak", tapi karena lidah orang Jawa cenderung ingin praktis, maka sebutannya jadi brak. Mungkin lho ya, ini hanya tebakan. Dan memang, fungsinya saat itu mirip barak, sebagai tempat bapak-bapak berkumpul, menyusun strategi, serta membagi tugas untuk berkeliling desa.
Di kampung kami, pos ronda ini terbuat dari kayu jati, dengan lantai panggung berupa papan jati, serta atap genteng dari tanah liat. Pos ronda ini bisa diangkat dan dipindahkan sesuai kebutuhan, jadi sifatnya portable. Ukurannya hanya sekitar 2 x 2 meter persegi, tapi sudah cukup untuk menampung beberapa orang. Di bagian depan pos tergantung kentongan besar, lengkap dengan kode-kode pukulan yang ditempel di dinding pos. Semua warga diwajibkan menghapal arti kode kentongan itu. Misalnya, pukulan satu kali berulang untuk tanda aman atau patroli, dua kali terus-menerus untuk perampokan atau pencurian, tiga kali terus-menerus untuk kebakaran atau bencana, serta ada juga kombinasi pukulan seperti 3+1 untuk bencana alam, 1+3 untuk kecelakaan lalu lintas, dan 2+3 untuk keributan atau perkelahian. Bahkan di sekolah, guru kami mengajarkan arti pukulan kentongan itu, supaya anak-anak juga paham tanda bahaya dan bisa sigap jika sesuatu terjadi.
Saya menikmati keberadaan pos ronda di kampung kami. Setidaknya pos ronda punya banyak fungsi strategis, bukan hanya soal keamanan lingkungan. Pos ini juga jadi pusat informasi warga, sarana kebersamaan dan gotong royong, tempat siaga darurat, sekaligus ruang bersosialisasi. Sebagai pos keamanan lingkungan, jelas perannya sangat penting. Tiap malam, bapak-bapak yang mendapat giliran jaga akan berkumpul di sana. Pos ini menjadi titik kumpul, pusat pantau, sekaligus tempat istirahat.
Selain itu, pos ronda berfungsi sebagai pusat informasi. Di sinilah warga saling bertukar kabar atau menyampaikan pengumuman penting terkait RT atau kampung. Pos ini juga jadi sarana kebersamaan, mempererat hubungan antarwarga, sekaligus menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama dalam menjaga lingkungan. Banyak kegiatan kerja bakti dimulai dari pos ronda. Sebagai tempat siaga darurat, kentongan berperan penting untuk memberi tanda bahaya yang bisa langsung dimengerti semua warga. Dan yang tak kalah menarik, pos ronda juga jadi sarana sosialisasi. Warga bisa ngobrol santai, main kartu, atau sekadar duduk bersama. Warga baru pun biasanya tidak perlu menunggu acara resmi untuk berkenalan, cukup datang ke pos ronda saat malam, sudah pasti akan diterima.
Kini, ketika saya mengingat semua itu, terasa betapa besar peran pos ronda di kampung kami. Bukan hanya soal keamanan, tapi juga tentang kebersamaan, gotong royong, dan solidaritas warga. Jika poskamling benar-benar dihidupkan kembali, saya yakin manfaatnya masih sangat relevan. Di banyak tempat, pos ronda masih berdiri, meski ada juga yang sudah hilang. Kalau pun sudah tidak ada, membangunnya kembali bukanlah hal sulit. Yang paling penting adalah semangat warganya untuk bersama-sama menjaga lingkungan. Di kampung saya sendiri, warga siap kapan saja untuk menghidupkan kembali poskamling, sebagaimana dulu kami pernah merasakan hangatnya ronda malam di bawah naungan "brak" sederhana yang penuh kenangan.