Lihat ke Halaman Asli

Restorative Justice sebagai Alternatif Penyelesaian Kasus Penghinaan Presiden

Diperbarui: 26 Maret 2025   04:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSsnCz9kUrvMZ3e3fkk16bzNGV5D0CtzePGfHgnqUhSjC9eZt7icfJYhT4&s=10

Menyoroti DPR RI komisi iii yang berkeinginan mendorong penyelasaian UU KUHAP tentang kasus penghinaan presiden telah menjadi perdebatan yang hangat di Indonesia. Pasal penghinaan presiden yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah digunakan sebagai dasar untuk menangkap dan menghukum mereka yang dianggap telah menghina presiden. Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah pasal ini masih relevan dan efektif dalam mengatasi kasus penghinaan presiden.

Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus penghinaan presiden adalah restorative justice. Restorative justice ini bisa membuat suatu pendekatan yang berfokus pada pemulihan dan rekonsiliasi antara presiden dan mereka yang dianggap telah menghina presiden, serta mempertimbangkan kebutuhan dan hak-hak kedua belah pihak. Pendekatan ini telah digunakan secara luas di berbagai negara untuk menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan kejahatan dan konflik.

Namun, perlu diingat bahwa restorative justice tidaklah mudah untuk diterapkan karena sangat bertentangan dengan negara republik Indonesia yang memakai sistem demokrasi, melihat daripada konsep-konsep demokrasi seperti kebebasan berbicara dan keadilan prosedural dapat bertentangan dengan tujuan restorative justice untuk memulihkan hubungan antara korban dan pelaku.

Dalam hal ini, penerapan restorative justice dalam kasus penghinaan presiden, perlu dilakukan dengan hati-hati dan transparan. Selain itu, perlu juga memastikan bahwa proses restorative justice dilakukan dengan adil dan tidak memihak pada salah satu pihak. Salah satu tantangan yang dihadapi ialah bagaimana untuk menentukan apa yang merupakan "penghinaan" dan apa yang bukan. Selain itu, perlu juga mempertimbangkan kebutuhan dan hak-hak presiden sebagai korban, serta kebutuhan dan hak-hak mereka yang dianggap telah menghina presiden sebagai pelaku. Karena tidak menutupi kemungkinan kebijakan ini bisa saja dipakai untuk anomali politik guna membungkam suara aktivis yang mencoba mengkritisi penyelewengan kebijakan presiden oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline