Soal devosi pada Bunda Maria, boleh dibilang, aku ketularan dari istriku. Dia berdevosi kepada Bunda Maria sejak usia remaja. Jelas, waktu itu kami belum saling kenal. Bertemu pun belum.
Barulah dalam satu dekade terakhir ini, setelah puluhan tahun terikat Sakramen Perkawinan, aku mulai tertular virus devosi pada Bunda Maria. Seperti kubilang tadi, ditulari istriku sendiri.
Doa Rosario dan ziarah ke Gua Maria, walau tak rutin dan tak khusuk-khusuk amat, mulai mewarnai kehidupanku. Kendati harus kuakui, saat berdoa rosario, aku kerap terserang kantuk luar biasa. Tapi, kupikir, itu masih terbilang manusiawi.
Dalam dua tahun terakhir kami berdua, istriku dan aku, agak rutin berziarah ke Gua Maria Bukit Kanada (GMBK), Rangkasbitung. Hampir tidak ada bulan yang terlewatkan, tanpa ziarah ke GMBK, sekurangnya sekali dalam satu bulan.
“Mengapa berziarah ke GMBK?” tanya seorang kawan. Ya, kenapa harus ke sana, bukan ke Kerep Ambarawa, Sendangsono Kulonprogo, atau Puhsarang Kediri misalnya?
Nyaman, aman, murah, dan cepat naik kereta komuter ke Gua Maria Bukit Kanada (Dokumentasi Pribadi)
Mudah dan Murah
Pilihan GMBK, pertama, didasari suatu alasan rasional ekonomis, yaitu karena paling mudah dan murah dicapai.
Begini. Kami berdiam di Jakarta Selatan. Kami tinggal naik mobil ojol dari rumah ke Stasiun Kebayoran. Lalu, dari situ, naik kereta komuter ke Rangkasbitung, dilanjutkan naik angkot ke GMBK. Rata-rata makan waktu 2 jam 15 menit atau 4.5 jam pergi-pulang. Ongkosnya pun murah, total hanya Rp 162.000 untuk berdua.
Lha, kalau alasannya supaya mudah dan murah, kenapa gak ziarah ke gua Maria di gereja-gereja Katolik sekitar Jakarta saja. Yah, konsepnya gak gitu. Murah ya murah, mudah ya mudah, tapi gak effortless gitu juga kali. Perlu ada upaya ekstra, sekecil apa pun itu, sebagai bukti kesungguhan.
"Bunda Maria, doakanlah kami." (Dokumentasi Pribadi)