Lihat ke Halaman Asli

KANG NASIR

TERVERIFIKASI

petualang

Jalan Menuju Istana (Bag 2)

Diperbarui: 4 April 2019   17:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan saya bulan November 2018 lalu dengan judul  yang sama, isinya menggambarkan tentang bagaimana perjalanan menuju Istana pada zaman sebelum demokrasi lahir di Indonesia.

Saya menggambarkan bahwa  untuk merebut Singgasana atau kursi di Istana, orang tak segan segan melakukan persetruan. Salah satu contohnya adalah persetruan antara Raja Amangkurat I dengan  Mas Rahmat yang tak lain adalah putra dari Amangkurat I. Hanya karena singgasana di Istana, seorang anak berani melawan orang tua hingga ahirnya Mas Rahmat menjadi Raja dengan gelar Amangkurat II setelah Amangkurat I wafat. Dalam catatan sejarah, Amangkurat I wafat setelah minum air yang sudah dicampur dengan racun.

Demikian pula dalam kisah pewayangan, untuk menduduki singgasana, tak juga lepas dari trik dan intrik, fitnah dan kebohongan bisa digunakan sebagai senjata untuk mencapai tujuan. Diantara yang terkenal karena kelicikannya hingga ia menduduki jabatan bergengsi adalah tokoh yang bernama  Tri Gantalpati.  

Karena kelicikannya, Tri Gantalpati berhasil menghasut dan menyebar kebencian kepada para kurawa bahwa Patih Gandamana  yang sedang berkuasa  adalah Patih yang tidak bener. Para Kurawa  terhasut dengan kebohongan yang disampaikan Tri Gandalpati sehingga  ahirnya membunuh Patih Gandamana,  Prabu Pandu berhasil di kadalin oleh Tri Gantalpati, laporannya bahwa Patih Gandamana berhasil ia bunuh  hingga ahirnya Prabu Pandu percaya kepada Tri Gantalpati dan mengangkatnya sebagai Patih dengan gelar Patih Sengkuni.

Lantas bagaimana  Jalan Menuju Istana  dimasa sekarang, orang menyebutnya zaman Demokrasi yakni zaman dimana rakyat punya peran dalam menentukan seseorang menuuju Istana. Tentu saja dalam konstitusi tidak disebut sebagai kursi Raja, tetapi secara substantive sama saja yakni singgasana yang ada di istana dengan sebutan Presiden.

Jalan Menuju Istana sebagaimana yang dihelat di Indonesia saat ini, ditentukan oleh rakyat melalui pemilihan langsung yang disebut Pemilihan Presiden, sedang calonnya   diusung oleh Partai Politik. Oleh karenanya, dalam kontestasi ini banyak melibatkan rakyat dan partai politik.

Rakyat yang terlibat dalam kontestani ini amat beragam dengan kepentingan yang beragam pula. Ada yang dengan suka rela menjadi tim relawan untuk memenangkan capres tertentu, ada juga yang jadi  tim sukses secara resmi  dibentuk dan terstruktur berdasarkan kesepakatan bersama, sedangkan di tingkat yang paling bawah, banyak rakyat yang sekedar mendukung capres tertentu walaupun tidak terikat oleh tim apapun.

 Kepentingan rakyat melibatkan diri dalam kontestasi Pilprespun juga macam macam, ada yang betul betul karena panggilan nurani, berharap negara lebih maju jika capresnya menang atau karena terikat fatsum partai yang mengharuskan untuk mendukung capres tertentu. Selain itu ada juga karena kepentingan pragmatis  -- walaupun terselubung-- mungkin  ingin mencari perlindungan, mungkin ada yang ingin mencari keuntungan secara pribadi (dalam bidang usaha)  bahkan kemungkinan ada yang berharap mempertahankan status misalnya;  ada yang sudah jadi komisaris BUMN, ingin tetap jadi komisaris,  ada yang sudah jadi direktur berharap tidak digeser dsb.

Sedangkan partai politik tentu saja punya kepentingan politik, sudah bukan rahasia umum, partai politik yang secara bersama sama mengusung calon presiden, berharap partai politiknya ikut terlibat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dengan mendapat jatah mentri  dalam kabinet yang akan datang.

Pertanyaannya adalah apakah dalam kontestasi politik memperebutkan Singgasana Istana saat ini tidak terjadi persetruan?. Sepanjang proses pelaksanaan Pilpres saat ini, dimana  informasi begitu terbuka  melalui akses internet, boleh dibilang Pilpres saat ini adalah pilpres yang paling gaduh.

Menurut saya, frasa yang paling pas untuk menggambarkan kegaduhan itu adalah frasa yang berbunyi "Saling". Masing masing kubu, entah itu rakyat, relawan termasuk tim sukses merasa saling mendapat fitnah, mereka saling klaim  dan saling berbantah bantahan baik di media mainstream maupun di media social, alhasil masing masing kubu saling ejek bukan hanya persoalan pemikiran, tetapi ranah pribadipun menjadi sasaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline