Canisius College Cup (CC CUP) XL 2025 kembali hadir dengan energi besar yang memadukan sportivitas, persaudaraan, dan perjuangan. Bagi saya, keterlibatan di ajang ini memiliki dua wajah: sebagai panitia keamanan yang bertugas menjaga jalannya acara, sekaligus bagian dari ALASKA (Aliansi Supporter Kanisius) yang menyemangati tim dari tribun. Dua peran ini tampak kontras, namun justru memperlihatkan bagaimana sebuah kompetisi olahraga bisa menjadi ruang pembentukan karakter anak muda, tempat nilai kanisian, compassion, commitment, conscience, competence, dan leadership (4C+1L), serta semangat magis dan persevera dihidupi secara nyata.
Isi
Lapangan, Tribun, dan Tanggung Jawab Keamanan
Lapangan memang menjadi panggung utama perjuangan, namun tanpa keamanan yang kondusif, suasana itu tidak akan hidup dengan baik. Sebagai panitia keamanan, saya belajar bagaimana menjaga ribuan penonton tetap tertib, memastikan jalur aman, menghadapi situasi tak terduga, dan membantu mencari barang pendatang yang hilang. Ada saatnya saya harus menenangkan kerumunan, ada pula momen di mana saya harus cepat mengambil keputusan agar pertandingan tetap berjalan lancar. Semua itu mengajarkan arti competence yang bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga ketenangan dalam menghadapi tekanan. Ada juga belajar kepekaan terhadap lingkungan sekitar, melihat sesuatu yang janggal dan tidak sesuai dengan prosedur keamanan.
Di sisi lain, saya tetap bagian dari tribun. ALASKA hadir bukan hanya untuk bersorak, tapi untuk menularkan energi positif. Dari bangku penonton, saya melihat bagaimana yel-yel bisa menyalakan kembali semangat pemain yang hampir menyerah. Ada kepedulian (compassion) yang nyata, ketika sorakan semakin keras justru saat tim sedang tertinggal.
Magis bukan soal menjadi juara, tetapi berani memberi usaha terbaik meski keadaan tidak mendukung.
Belajar Sportivitas dari Dua Arah
Menjadi panitia keamanan membuat saya lebih peka pada batas antara sorakan sehat dan provokasi. Saya harus menimbang dengan hati (conscience): mana ekspresi wajar, mana yang bisa menimbulkan masalah. Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa sportivitas bukan hanya dituntut dari pemain, tetapi juga dari penonton dan panitia.
Sementara di tribun, saya menyaksikan sisi lain: bagaimana ALASKA memberi tepuk tangan untuk aksi indah lawan. Sekilas sepele, tapi sebenarnya menunjukkan leadership: memimpin budaya dukungan yang sehat. Dengan begitu, tribun menjadi sekolah karakter yang tak kalah penting dari lapangan.
Suasana ini membentuk sebuah pelajaran besar: karakter tidak hanya ditempa di ruang kelas, tetapi juga di arena publik. Di tribun, anak muda belajar mengendalikan emosi; di lapangan, mereka belajar daya juang; di kepanitiaan, mereka belajar tanggung jawab. Semua saling melengkapi.