Di setiap sudut bumi, terdapat makhluk hidup yang menyimpan kisah panjang, sering kali tidak terdengar, namun penuh makna. Kisah mereka adalah bagian dari sejarah alam yang membentuk dunia ini. Sayangnya, banyak di antaranya kini hanya tinggal cerita, tergerus oleh rakusnya tangan manusia, ketidakpedulian, serta perubahan lingkungan yang kian tidak bersahabat. Artikel ini mengajak kita menoleh pada tiga kisah pilu: dua kura-kura endemik Sulawesi yang kini kritis, vaquita atau panda laut dari Meksiko yang mungkin sebentar lagi benar-benar hilang dari dunia, serta Marjan, singa Kabul Zoo yang hidup dalam derita akibat perang. Mereka adalah wajah-wajah bisu dari tragedi ekologi dan kemanusiaan. Dengan membaca kisah mereka, kita diajak untuk memahami bahwa kepunahan bukan sekadar istilah biologi, tetapi juga kehilangan warisan dan pelajaran hidup bagi manusia itu sendiri.
Sulawesi dikenal sebagai pulau dengan tingkat endemisitas tinggi. Dari hutan tropis hingga danau-danau tua, setiap ekosistem di sana menyimpan spesies unik. Di antara kekayaan itu, dua kura-kura endemik menjadi perhatian dunia konservasi: kura-kura hutan Sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) dan kura-kura leher ular Sulawesi (Chelodina mccordi). Kura-kura hutan Sulawesi sering dijuluki "white-headed forest turtle" karena kepalanya yang pucat. Hewan ini hanya ditemukan di hutan lembap Sulawesi Utara. Perannya di alam sangat penting, terutama dalam penyebaran biji. Kotorannya membantu regenerasi pohon hutan, menjaga siklus yang mendukung keanekaragaman hayati. Sayangnya, sejak tahun 1990-an, hewan ini menjadi incaran kolektor satwa langka di Eropa dan Amerika. Banyak yang diburu, dijual secara ilegal, dan dikirim ratusan bahkan ribuan kilometer jauhnya dari habitat aslinya.
Tidak berbeda jauh, kura-kura leher ular Sulawesi juga menghadapi nasib serupa. Lehernya yang panjang hingga menyerupai ular membuatnya tampak eksotis dan menjadi komoditas mahal di pasar gelap satwa. Seekor kura-kura bisa dihargai jutaan rupiah, sesuatu yang mendorong maraknya penangkapan liar. Ironisnya, masyarakat lokal sering kali tidak menyadari bahwa hewan yang mereka tangkap sebenarnya hanya ada di tanah mereka, dan jika punah, dunia tidak akan bisa mengembalikannya. Selain perburuan, kerusakan habitat menambah luka. Deforestasi akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, tambang nikel, dan pembangunan infrastruktur mempersempit wilayah jelajah kura-kura. Penelitian terbaru menunjukkan populasi mereka kini tinggal ribuan, bahkan mungkin ratusan, dengan tren menurun setiap tahun. Tanpa intervensi besar, Sulawesi bisa kehilangan salah satu spesies paling berharga yang tidak dimiliki pulau lain di dunia.
Jika kita menyeberang jauh ke Meksiko, tepatnya ke Laut Cortez atau Teluk California, kita akan menemukan kisah mamalia laut mungil bernama vaquita (Phocoena sinus). Vaquita dikenal sebagai "panda laut" karena memiliki lingkaran hitam di sekitar mata, menjadikannya tampak lucu dan menggemaskan. Namun, di balik wajah mungilnya, tersembunyi tragedi besar: vaquita adalah salah satu mamalia laut paling langka di dunia. Masalah utama vaquita berasal dari jaring insang. Nelayan di wilayah itu menggunakan jaring besar untuk menangkap totoaba, ikan yang gelembung renangnya dihargai sangat tinggi di pasar Tiongkok karena dianggap memiliki khasiat obat. Vaquita yang terperangkap di jaring insang tidak bisa bernafas dan akhirnya mati tenggelam. Pada 1997, peneliti masih mencatat sekitar 600 vaquita. Namun, hanya dua dekade kemudian, jumlah itu turun drastis hingga tinggal puluhan. Pada 2023, laporan resmi menyebutkan mungkin hanya tersisa kurang dari 20 individu di alam liar.
Upaya penyelamatan sudah dilakukan. Pemerintah Meksiko sempat melarang penggunaan jaring insang di habitat vaquita dan membentuk kawasan konservasi. Beberapa organisasi internasional, termasuk Sea Shepherd, melakukan patroli laut untuk menghancurkan jaringilegal. Bahkan ada upaya dramatis untuk menangkap beberapa vaquita agar bisa ditangkarkan. Sayangnya, vaquita tidak bisa bertahan dalam kurungan; satu individu mati stres saat proses penyelamatan, sehingga program itu dihentikan. Kini, satu-satunya harapan adalah melindungi mereka langsung di laut. Vaquita menjadi simbol dari bagaimana kerakusan global dapat membunuh spesies yang bahkan sebagian besar manusia belum sempat mengenalnya. Tragis, bukan? Kita kehilangan sesuatu yang berharga bahkan sebelum sempat benar-benar mengenalnya.
Kisah selanjutnya bukan tentang kepunahan, melainkan penderitaan satwa akibat konflik manusia. Marjan, seekor singa Afrika, lahir pada 1976 dan dipelihara di Kabul Zoo, Afghanistan. Bagi masyarakat Afghanistan, Marjan bukan hanya singa, tetapi simbol kekuatan dan ketahanan di tengah perang yang berkepanjangan. Pada 1990-an, sebuah tragedi menimpa. Seorang tentara muda yang ingin menunjukkan keberanian masuk ke kandang Marjan. Sang tentara tewas dimangsa. Sebagai balas dendam, kawannya melemparkan granat ke kandang. Marjan selamat, tetapi dengan luka mengerikan: ia kehilangan mata, wajahnya cacat, dan tubuhnya penuh luka. Sejak saat itu, Marjan hidup dengan cacat permanen, menanggung penderitaan fisik dan emosional di tengah keriuhan perang sipil Kabul. Meski begitu, Marjan bertahan hidup hingga 2002, melewati rezim yang berganti, bom yang jatuh, dan derita yang tiada habisnya. Bagi pengunjung Kabul Zoo, ia adalah simbol dari korban perang yang tak bersalah. Kisah Marjan menyentuh hati banyak orang di dunia, memunculkan gelombang simpati, dan menyadarkan bahwa konflik manusia merenggut nyawa tak hanya manusia, tetapi juga makhluk lain yang tak pernah meminta untuk dilibatkan.
Tiga kisah di atas memperlihatkan spektrum ancaman satwa di dunia: eksploitasi pasar satwa, kerakusan global, dan kekejaman konflik manusia. Semua berpangkal pada satu hal: manusia lupa bahwa dirinya bagian dari ekosistem, bukan penguasa tunggal. Hilangnya kura-kura endemik berarti hilangnya peran ekologis penting di hutan Sulawesi. Hilangnya vaquita berarti kita kehilangan mamalia laut yang hanya ada satu-satunya di bumi. Luka Marjan memperlihatkan bahwa satwa pun bisa menjadi korban egoisme manusia. Lebih dari itu, kisahkisah ini adalah cermin. Kita bisa melihat wajah kita sendiri dalam kepunahan mereka: serakah, lalai, dan tidak peduli. Namun, kisah ini juga bisa menjadi titik balik, jika kita memilih untuk belajar.
Apa yang bisa kita lakukan? Pertanyaan ini sering muncul. Jawabannya mungkin tampak sederhana, tetapi dampaknya besar bila dilakukan bersama-sama.
1. Menghentikan perdagangan satwa ilegal. Jangan pernah membeli satwa liar atau produk yang berasal dari hewan dilindungi. Setiap pembelian berarti mendukung perburuan.
2. Mendukung upaya konservasi. Banyak lembaga internasional yang bekerja keras menyelamatkan spesies terancam punah. Dukungan bisa berupa donasi, kampanye, atau sekadar menyebarkan informasi.