Pengkhianat Bangsa Bukan Ditakuti, Tapi Dibongkar!
Pendahuluan
"Pengkhianat bangsa" bukan sekadar istilah emosional. Ia nyata, hadir dalam wujud elite politik atau pejabat publik yang menggadaikan mandat rakyat demi kepentingan kelompok atau pribadi. Fenomena ini bukan hal baru, tetapi semakin berbahaya ketika demokrasi kita hanya berhenti pada ritual pemilu tanpa akuntabilitas pasca-pemilihan.
Robert Klitgaard (1988) pernah mengingatkan lewat formula klasiknya: Korupsi = Monopoli + Diskresi  Akuntabilitas. Selama kekuasaan terpusat, kewenangan bebas tanpa kontrol, dan rakyat tak diberi akses mengawasi, maka pengkhianatan hanyalah soal waktu.
Demokrasi yang Tergadai Oligarki
Ilmuwan politik Robert Dahl (1971) menegaskan bahwa demokrasi sejati menuntut partisipasi luas dan kompetisi yang fair. Namun, dalam praktiknya, demokrasi sering direduksi menjadi pesta elektoral lima tahunan yang mahal. Akibatnya, politisi bergantung pada cukong modal.
Hellman, Jones, dan Kaufmann (2000) menyebut fenomena ini sebagai state capture  ketika kebijakan negara ditulis bukan untuk rakyat, melainkan untuk oligarki. Di titik inilah pengkhianatan bangsa bekerja secara halus: rakyat memilih, tapi kebijakan tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat.
Hukum yang Melemah, Pengkhianat yang Menguat
Indonesia punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai simbol perang melawan korupsi. Namun efektivitasnya semakin dipertanyakan setelah revisi UU KPK 2019. Simon Butt (2019) menulis bahwa revisi tersebut justru melumpuhkan independensi KPK, mengubah lembaga antikorupsi ini menjadi "macan ompong".
Dengan hukum yang melemah, pengkhianat justru semakin leluasa. Mereka tahu, sanksi hukum bisa dinegosiasikan, dan jerat pidana bisa dipatahkan lewat politik transaksional.
Krisis Kepercayaan Rakyat