Starbucks kembali menjadi sorotan dunia. Bukan karena menu baru atau kampanye ikoniknya, melainkan karena langkah besar yang mengguncang ribuan karyawan dan jutaan pelanggan setianya.
Pada akhir September 2025, raksasa kopi asal Seattle itu mengumumkan restrukturisasi global senilai $1 miliar, termasuk penutupan sekitar 430 gerai di Amerika Utara dan PHK terhadap 900 karyawan korporat, menyusul gelombang pemutusan hubungan kerja terhadap 1.000 orang sebelumnya.
Bagi banyak orang, keputusan ini menjadi ironi. Starbucks yang selama puluhan tahun dikenal sebagai simbol "third place", tempat di antara rumah dan kantor, kini justru kehilangan pijakan di tanah kelahirannya.
Dua Wajah Starbucks: Indonesia vs Amerika
Di Indonesia, narasinya berbeda. Starbucks justru tampil sebagai duta kopi dan komunitas. Pada perayaan 23 tahunnya, tema "Kebanggaan Indonesia, Mendunia" digelorakan.
Bibit kopi ditanam di Sumatra Utara, barista lokal dikirim ke ajang internasional di Las Vegas, dan gerai-gerai baru dibuka di Batam, Lombok, hingga Jabodetabek.
Narasi yang dibangun adalah tentang ekspansi, pemberdayaan, dan diplomasi rasa.
Sementara itu, di Amerika Utara, Starbucks menghadapi krisis identitas korporat. Strategi lama dianggap tidak lagi relevan.
Gerai-gerai berkonsep pick-up only yang sebelumnya diproyeksikan sebagai masa depan, kini justru ditutup karena tidak sesuai dengan arah baru.
Serikat pekerja mengecam langkah PHK besar-besaran ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai perusahaan yang selama ini dijunjung.
Kontras ini menghadirkan gambaran yang tajam. Indonesia merayakan dan berkembang. Sementara itu, Amerika merumahkan dan merestrukturisasi.
Tekanan Sosial dan Boikot di Indonesia
Meski tidak ada pengumuman PHK massal, bukan berarti perjalanan Starbucks Indonesia berjalan mulus. Dampak boikot geopolitik terasa berat. Pada kuartal pertama 2025 saja, 11 gerai ditutup. Logo Starbucks menjadi simbol kontroversi:
- Pelajar dilarang membawa tumbler Starbucks ke sekolah.
- Gerai dirusak dalam aksi protes.
- Karyawan menghadapi tekanan psikologis yang tidak ringan.