Yogyakarta -- Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan warisan budaya, salah satunya adalah tradisi Grebeg Maulud yang rutin diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta. Tradisi ini mencerminkan akulturasi yang harmonis antara budaya Jawa dan ajaran Islam yang dikenal dengan istilah Islam Kejawen. Keberadaan Grebeg Maulud menjadi penting untuk terus dilestarikan karena menyimpan nilai-nilai luhur yang dapat memperkuat jati diri bangsa.
Grebeg Maulud merupakan rangkaian acara dari perayaan Sekaten yang bertujuan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini diyakini sudah berlangsung sejak masa Kerajaan Demak dan disebarluaskan oleh para Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga, melalui pendekatan budaya yang persuasif. Dalam pelaksanaannya, tradisi ini menampilkan arak-arakan gunungan hasil bumi yang dibentuk menyerupai gunung yang kemudian dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk sedekah. Gunungan bukan hanya lambang kesejahteraan, tetapi juga memiliki makna spiritual. Bentuknya yang meruncing ke atas merepresentasikan keesaan Tuhan, dan isinya seperti apem, kolak, dan ketan mengandung makna filosofis dari bahasa Arab: afuwan (maaf), kholaqo (penciptaan), dan khoto'an (kesalahan). Hal ini memperlihatkan keterkaitan erat antara tradisi dengan nilai-nilai Islam (Mirawati, 2016).
Devina Pratisara (2022) menegaskan bahwa Grebeg Maulud merupakan wujud pelestarian budaya Islam Kejawen yang hingga kini masih dijaga oleh masyarakat Yogyakarta. Ia menyebut bahwa nilai-nilai dalam tradisi ini sejalan dengan Pancasila dan memperkuat integritas budaya lokal.
Implementasi Nilai Pancasila dalam Tradisi Grebeg Maulud yang mencerminkan lima sila dalam Pancasila secara utuh:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa -- Doa bersama dan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW menjadi bukti kuat bahwa tradisi ini dilandasi nilai religius yang tinggi (Pratisara, 2022).
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab -- Gunungan dibagikan kepada masyarakat tanpa diskriminasi sebagai wujud kepedulian sosial dan bentuk dari sedekah.
3. Persatuan Indonesia -- Tradisi ini menyatukan berbagai kalangan, dari kerabat keraton hingga masyarakat umum, tanpa melihat latar belakang sosial, ekonomi, atau agama.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan -- Musyawarah menjadi landasan utama dalam perencanaan acara yang melibatkan keraton dan masyarakat.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia -- Pembagian hasil bumi melalui gunungan merupakan simbol keadilan dan pemerataan kesejahteraan.
Tradisi ini bukan sekadar tontonan, tetapi juga menjadi tuntunan. Masyarakat sekitar Keraton Yogyakarta diketahui turut menginternalisasi nilai-nilai dari Grebeg Maulud dalam kehidupan sehari-hari, seperti nilai syukur, sedekah, gotong royong, serta pentingnya menjaga keharmonisan sosial (Mirawati, 2016).
Selain sebagai bagian dari identitas budaya, Grebeg Maulud juga berkontribusi besar terhadap sektor pariwisata dan ekonomi lokal. Ribuan pengunjung, baik domestik maupun mancanegara, datang untuk menyaksikan prosesi ini. Kehadiran wisatawan tersebut memberi dampak positif bagi pelaku usaha mikro, pedagang kaki lima, dan sektor jasa di sekitar lokasi acara. Dengan demikian, tradisi ini turut menyumbang penguatan ekonomi kreatif berbasis budaya. Hotel, restoran, pusat oleh-oleh, hingga transportasi lokal mengalami lonjakan pendapatan saat pelaksanaan Grebeg Maulud. Hal ini menunjukkan bahwa budaya tidak hanya memiliki nilai estetika dan spiritual, tetapi juga daya dorong ekonomi yang kuat jika dikelola dengan baik. Kemudian, Lembaga pendidikan dan media massa juga memiliki peran strategis dalam pelestarian Grebeg Maulud. Pendidikan dapat mengintegrasikan materi budaya lokal ke dalam kurikulum, sementara media membantu memperluas jangkauan informasi mengenai nilai-nilai luhur dalam tradisi ini.