Halo, kembali lagi bersama saya, Melania Dela.
Dalam tulisan kali ini, saya ingin mengajak kamu semua untuk merenung sejenak tentang satu hal yang sering kita dengar, tetapi mungkin jarang kita pahami secara mendalam—yaitu retorika. Banyak orang berpikir bahwa retorika hanyalah seni berbicara atau kemampuan merangkai kata dengan indah. Namun, bagi saya, retorika jauh lebih dari itu. Sebagai seseorang yang sedang menempuh jalan menjadi guru, saya mulai menyadari bahwa kemampuan beretorika bukan sekadar tambahan, melainkan kebutuhan utama dalam profesi pendidik.
Secara sederhana, retorika dapat diartikan sebagai seni berbicara dengan efektif untuk memengaruhi, meyakinkan, atau menginspirasi orang lain. Konsep ini sudah ada sejak zaman Yunani kuno, ketika tokoh seperti Aristoteles menjelaskan bahwa retorika adalah “kemampuan untuk menemukan cara terbaik dalam meyakinkan seseorang.”
Dalam dunia modern, retorika bukan hanya milik para politisi atau pembicara publik. Siapa pun yang berinteraksi dengan orang lain, terutama dalam konteks pendidikan, sangat membutuhkan retorika. Mengapa? Karena komunikasi adalah jantung dari proses belajar mengajar. Guru yang pandai beretorika mampu menyampaikan materi pelajaran secara menarik, membangkitkan motivasi belajar, serta membentuk karakter peserta didik melalui kata-kata yang menginspirasi.
Kaitannya dengan Profesi Saya sebagai Guru
Sebagai calon guru, saya merasa retorika adalah keterampilan yang wajib saya kuasai. Dalam kelas, seorang guru tidak hanya bertugas mentransfer pengetahuan, tetapi juga menjadi komunikator, motivator, dan inspirator. Retorika menjadi alat utama dalam menjalankan peran-peran tersebut.
Bayangkan ketika seorang guru berbicara di depan kelas—intonasi suara, pilihan kata, ekspresi wajah, dan cara mengatur alur pembicaraan semuanya memengaruhi suasana belajar. Guru yang monoton dan tidak mampu menarik perhatian siswa tentu akan membuat pelajaran terasa membosankan. Sebaliknya, guru yang menguasai retorika bisa membuat topik apa pun terasa hidup dan bermakna.
Sebagai contoh, ketika saya mengajar menggunakan model Problem Based Learning (PBL), saya sering menantang siswa dengan pertanyaan terbuka seperti, “Bagaimana cara kalian memecahkan masalah ini jika kalian berada di posisi tersebut?” Pertanyaan itu tidak hanya mengajak mereka berpikir kritis, tapi juga menunjukkan bagaimana retorika dapat digunakan untuk menggugah rasa ingin tahu dan keterlibatan aktif siswa.
Retorika Membentuk Karakter Guru yang Berpengaruh
Guru adalah sosok panutan. Setiap kata yang diucapkan, setiap nasihat yang disampaikan, memiliki kekuatan untuk membentuk pola pikir dan nilai-nilai siswa. Di sinilah letak pentingnya retorika: bukan hanya tentang cara berbicara yang menarik, tetapi juga tentang kejujuran, ketulusan, dan tujuan dari setiap ucapan.
Retorika yang baik tidak hanya memengaruhi pikiran, tetapi juga hati. Seorang guru yang beretorika dengan empati dan ketulusan akan lebih mudah menyentuh perasaan siswa. Kata-kata yang disampaikan dengan semangat dan kasih sayang dapat menjadi motivasi bagi mereka untuk terus belajar, bahkan di saat menghadapi kesulitan.