Kalangan atas bisa membeli aturan, memutar balik kebijakan, dan membuat hukum tunduk pada uang. Semuanya diatur dan disabotase, fitnah, dan meneurut mereka bisa dipermainkan. Kekuasaan yang seharusnya merupakan amanah berubah jadi komoditas. Apa katamulah yang merasa dunia milikmu, seenaknya seperti tak ingat MATI saja. Serakah dan dzalim merajalela.
Sementara kita? Untuk sekadar bersuara pun sering dibungkam, dianggap remeh, dicap pengganggu, bahkan dikriminalisasi. Nyawa manusia tak berharga, mereka bahkan tega melakukan hal keji kepada rakyat kecil. Kita adalah korban, tangisan rakyat ini adalah tangisan bangsa. Hancurnya negara kita bukan lagi dari luar tapi dari dalam. Para pengkhianat bangsa, mereka pesta korup, mengeruk kekayaan bangsa ini untuk mereka saja.
Lihatlah realitanya, semua haarga kebutuhan pokok merangkak naik, ongkos pendidikan makin mahal, layanan kesehatan masih jadi beban diwacanakan iuaran BPJS akan dinaikkan. Rakyat kecil harus berjibaku dengan gaji yang tak seberapa, sementara pejabat sibuk joget-joget di kursi empuk makin menikmati. Di desa-desa, petani tercekik oleh pupuk mahal dan panen yang tak sebanding harga. Di kota, buruh lembur siang malam, tapi upah tak cukup untuk sewa rumah layak dan makan. Di jalanan, pedagang kecil bersaing dengan para kapitalis. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Pajak alias upeti merongrong rakyat, hidup makin menderita.
Data yang mengejutkan kita begitu pandai membuat slogan Indonesia Emas Indonesia tetapi miskin upaya untuk mewujudkannya. Slogan sering dianggap sudah menjadi realita. Slogan tinggal slogan.
Generasi Emas apanya? Kita terhempas pada kenyataan bahwanya data dari Standar Bank Dunia bukan BPS yang ditampilkan oleh status Face Book abang Tere Liye penulis yang kritis cukup mencengangkan yaitu penduduk miskin negara kita adalah 195 juta. Ditambah data yang dituliskannya narkoba 3,3 juta, pemain judo 11 juta, pengguna pinjol 129 juta, perokok aktif 70 juta, 65 % hanya tamatan SMP, sarjana pengangguran 1,01 juta, UMP rata-rata 3,1 juta. Nah kalau gaji para anggota dewannya, hm, jangan ditanya. Pastinya bombastis. Gaji tambah bonus komisaris BUMN 1-2 miliar.
Apakah kita hanya bisa diam menelan kenyataan ini? Tidak. Karena ketika hidup semakin mencekik, diam bukan lagi pilihan apalagi menyerah. Maka katakan dengan lantang. Suara kita bisa tetap hidup, meski mereka berusaha mematikan. Tidak terima dengan keadaan bisa saja tidak dengan ikut demontrasi ada cara lain yang bisa menjadi pilihan. Suara kita bisa tetap hidup, meski mereka berusaha mematikannya. Bergerak, karena ketika kita diam saja melihat keadilan ditindas maka kita sama saja kita berada di pihak penindas. Protes tidak melulu tentang massa di jalan. Ia bisa hadir lewat tulisan yang menyingkap kebenaran melewati batas, lewat coretan di dinding kota yang mengugah, lewat karya seni yang menyentil nurani, ciptaan lagu/musik yang lahir dari keresahan dan luka, lewat film dokumenter dan teater yang mencatat penderitaan rakyat dan membuka mata. Ia bisa muncul lewat ruang digital, kalimat satir, sindiran, petisi, aksi solidaritas, dan kerja-kerja komunitas yang menyalakan cahaya dari bawah menyebarkan informasi kebenaran. Sama-sama dan kompak bersuara, agar ada perubahan dan evaluasi menyeluruh dari sistem yang banyak sudah menyalah. Setidaknya ketika dirimu berselancar, merunduk dengan ponselmu, melototi sosial media maka tergeraklah menyuarakan KEBENARAN.
Mereka mungkin punya uang dan kekuasaan, tapi kita punya harapan, kita punya luka, kita punya suara. Dan suara itu, bila digemakan bersama, tak akan mudah dibeli atau dipadamkan. Suara yang lahir dari perut yang lapar, dari keringat yang tumpah, dari jeritan anak bangsa yang menolak menyerah. Bahkan dari darah yang menetes, dari nyawa yang melayang karena berjuang demi kebenaran dan keadilan. Pun mereka yang menjadi TUMBAL.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI