Lihat ke Halaman Asli

Menikmati Sengatan Matahari Lain

Diperbarui: 13 Desember 2018   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa pahlawan hidupmu? Bila pertanyaan itu diajukan, saya akan menyebut nama Sutejo (49), dosen di STKIP PGRI Ponorogo dan motivator. Setidaknya, bagi saya, dia seperti matahari yang rela berbagi sinarnya kepada sesama, memberikan apa yang dimiliki, mencerahkan, setia menebar kebahagiaan bagi manusia.

Beruntung saya bertemu dan mengenal pria yang juga memiliki karakter bak matahari ini. Setia menggeluti dunia kepenulisan, memiliki tekad dan semangat tinggi, serta mampu menularkan inspirasi.

Kendati berangkat dari latar belakang ekonomi pas-pasan, saat menempuh S1 di IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang) Sutejo, tak sungkan menjadi penjual keliling menjajakan tas kresek untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Baginya kemiskinan itu energi yang menghipnotis. Saat dilanda kejenuhan, buku dan pena menjadi obat penyembuh. "Menulis itu istri kedua saya," canda Sutejo.

Sutejo masih mengingat, tulisan pertamanya dimuat di koran sore Surabaya Post medio 1989 silam. Sementara baru pada kiriman yang ke-24 tulisannya lolos muncul di koran nasional, Kompas.

Hingga kini, Sutejo telah menerbitkan 20-an judul buku, semuanya tentang literasi. Hari-harinya disibukkan dengan membaca dan menulis. Di kantor membaca, di warung pun membaca, di ruang tamu hingga di kamar pun buku tak lepas dari genggamannya.

Ia seakan bersetia pada jargon yang diugeminya, "menulis itu indah, berpikir itu merajut dzikir, berkarya itu melukis pesona."

Hal menarik lainnya dari sosok Sutejo, ia tak pernah ragu menjalani kehidupan ini. Tekad dan semangat tingginya dibuktikan di tahun 2016 ini lewat sekolah literasi gratis yang dipelopori para penulis dan sastrawan dari kampus STKIP PGRI Ponorogo hingga hibah 10.000 buku ke sekolah SMA sederajat se-Karesidenan Madiun.

Motivasi sekolah literasi yang berdiri akibat terlecut ucapan sahabat Ali bin Abi Thalib, "ikatlah ilmu dengan tulisan."

Manusia dianugerahi otak untuk mengingat, namun ada kalanya apa yang diingat memudar karena tertumpuk ingatan baru. Tinggallah tulisan dan karya yang menggantikan saat si penulisnya tutup usia.

Sebut contoh, buku Habis Gelap Terbitlah Terang, yang menjadikan RA Kartini dikenang hingga sekarang. Bahkan, pemikiran-pemikirannya dalam buku yang diangkat dari korespondensi dengan Nyonya Abendanon di Belanda tersebut masih relevan diterapkan di era sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline