Lihat ke Halaman Asli

Marius Gunawan

TERVERIFIKASI

Profesional

Menjual Jokowi

Diperbarui: 27 September 2025   13:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jokowi berpakaian adat (Detik.com)

Ibarat produk, nama Joko Widodo---atau Jokowi---masih menjadi "brand premium" dalam etalase politik Indonesia. Sudah pensiun dari jabatan presiden sejak 20 Oktober 2024, ia justru seperti semakin laku dijual. Hampir setiap hari wajahnya muncul di media massa dan media sosial, dengan tema yang beraneka rupa. Dari diskusi akademis sampai obrolan warung kopi, dari puja-puji hingga caci maki. Dua kubu besar---pendukung dan pembenci---saling berebut panggung, dan Jokowi tetap menjadi kata kunci yang menjual.

Jokowi Pasca-Kekuasaan

Fenomena ini tidak mengherankan bila menengok data. Lembaga Indikator Politik Indonesia merilis survei pada Agustus 2025 yang menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi selama dua periode masih berada di angka 72 persen. Angka ini sangat tinggi untuk seorang mantan presiden yang sudah tidak lagi memiliki otoritas eksekutif. Dengan kata lain, Jokowi tidak lagi memegang kekuasaan formal, tapi masih memiliki modal politik yang "liquid"---mudah dicairkan kapan saja.

Tidak heran, narasi politik masih sering menjadikan Jokowi sebagai "pusat semesta." Mulai dari harga beras yang naik, lambannya distribusi bantuan, sampai kegaduhan soal program Makan Bergizi Gratis, semua bisa berujung pada satu simpulan absurd: salah Jokowi. Saking repotnya, bahkan ijazah Jokowi kembali dipersoalkan, kini merembet ke ijazah anaknya, Gibran Rakabuming Raka. Rasionalitas logika politik tampaknya sudah ikut cuti panjang.

Antara Kagum dan Benci

Ironisnya, kekaguman pada Jokowi justru paling gamblang terlihat dari para pembencinya. Mereka tidak bisa berhenti menyebut namanya. Setiap kali ada problem nasional, Jokowi yang jadi tersangka utama. Seolah ia memiliki tombol ajaib untuk mengendalikan segalanya, bahkan setelah meletakkan jabatannya. "Semua salah Jokowi" menjadi mantra baru dalam ruang publik kita.

Di sisi lain, para loyalis masih menjadikannya rujukan moral dan politik. Saat Jokowi menerima tawaran menjadi anggota Dewan Penasehat Bloomberg New Economy Forum pada September 2025, kubu pendukung mengklaimnya sebagai bukti pengakuan dunia internasional. Sementara kubu seberang menyebutnya hanya upaya "jual nama." Lagi-lagi, Jokowi tetap menjadi komoditas---baik dipuji maupun dicaci.

Politik sebagai Seni Menjual

Di titik ini, politik Indonesia sebenarnya sedang memperlihatkan betapa ampuhnya strategi branding. Jokowi adalah contoh nyata bagaimana seorang tokoh bisa diperlakukan layaknya produk. "Dalam politik, persepsi lebih penting daripada realitas," kata Niccol Machiavelli berabad-abad lalu. Jokowi seakan sudah menjelma menjadi persepsi itu sendiri.

Kita melihat politisi lain sibuk menempelkan diri pada bayangan Jokowi. Ada yang menjual kedekatan personal, ada pula yang mencoba menjual jarak, berharap mendapat simpati publik sebagai "antitesis Jokowi." Ironisnya, dua-duanya tetap menjadikan Jokowi sebagai bahan jualan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline