Lihat ke Halaman Asli

Marius Gunawan

TERVERIFIKASI

Profesional

Perda Boleh Bakar Lahan 2 Hektar di Kalbar Akan Dicabut: Kriminalisasi Peladang Berpindah?

Diperbarui: 13 Agustus 2025   06:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panen Peladang Berpindah (detik.com)

Di bawah langit Kalimantan Barat yang biru dan lembab, asap tipis sering membubung di penghujung musim kemarau. Bagi sebagian orang kota, asap itu tanda bahaya. Bagi masyarakat adat Dayak, itulah tanda kehidupan baru akan dimulai---masa berladang. 

Namun, kebiasaan turun-temurun ini kini berada di ujung tanduk. Menteri Kehutanan, atas arahan Presiden Prabowo Subianto, menyatakan Perda yang membolehkan pembakaran lahan maksimal dua hektar akan dicabut. 

Alasannya? Demi pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).Kebijakan ini terdengar tegas, tetapi di telinga para peladang tradisional, ia bagai palu godam yang menghantam kepala. Mereka merasa kembali disudutkan, seolah-olah semua api berasal dari korek api mereka. Pertanyaannya: benarkah peladang tradisional penyebab utama bencana asap?

---

Tradisi yang Bukan Asal Bakar

Bagi masyarakat adat Kalbar, membakar lahan bukanlah tindakan sembrono. Ini adalah ritual agraris yang diatur oleh kearifan lokal. Mereka tahu kapan waktu terbaik: bukan di puncak kemarau, melainkan di penghujung musim kemarau, saat hujan segera turun dan api tidak akan merajalela. Mereka membuat sekat bakar, memilih lahan mineral yang tidak mudah menyebarkan api, dan membakar melawan arah angin agar api terkendali.

"Kalau api merembet ke ladang tetangga, kami yang rugi. Ada sanksi adat yang berat," kata Yansen, seorang peladang di Kapuas Hulu. Dalam hukum adat, membakar lahan orang lain bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi penghinaan terhadap kehormatan keluarga.

---

Mitos dan Fakta Asap

Ironisnya, kebakaran hebat yang menutup langit Kalimantan dengan kabut asap jarang berasal dari ladang dua hektar milik petani. Data KLHK menunjukkan, 90% titik panas berada di lahan gambut, yang mayoritas dibuka untuk perkebunan besar, terutama kelapa sawit. Lahan gambut, jika terbakar, menyala di bawah tanah dan sulit dipadamkan, menghasilkan asap berbulan-bulan.

Peladang tradisional menghindari gambut karena tanahnya tidak cocok untuk padi ladang dan rawan banjir. Mereka tidak punya modal untuk membuka lahan ribuan hektar, apalagi untuk menjual hasilnya ke pasar internasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline