Siang terik di Link Kebon Pisang, Kecamatan Pulomerak, Cilegon, angin berhembus kencang membawa butiran debu halus ke udara. Debu itu bukan sembarang debu. Ia berasal dari timbunan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA), hasil pembakaran batu bara milik PLTU Suralaya Unit 9-10.
Pada Rabu, 3 September 2025, kepulan fly Ash batu bara terlihat jelas berterbangan, menutup pandangan, dan membuat warga resah. Lokasi penampungan FABA hanya berbatasan dengan dinding raksasa dengan pemukiman warga.
Irsyad, seorang warga, menjadi saksi mata. "Debunya pekat sekali. Apalagi kalau panas terik dan angin kencang. Kami terpaksa menutup pintu dan jendela rapat-rapat," ujarnya.
Suaranya menyimpan nada jengkel bercampur pasrah. Ia menambahkan, selama ini warga hanya bisa mengandalkan masker seadanya, meski debu fly Ash batu bara tetap menempel di lantai rumah, pakaian, hingga perabot.
Bagi warga, ini bukan kejadian pertama. Mereka sudah berulang kali merasakan dampak polusi fly ash batu bara. Namun minim informasi membuat mereka gamang.
"Katanya ramah lingkungan. Tapi kalau pengelolaan fly ash batu bara seperti ini, jelas membahayakan. Kami juga tidak pernah mendapat penjelasan atau jaminan kesehatan," kata Irsyad.
Ketika dikonfirmasi oleh Irsyad, Humas PLTU Suralaya Unit 9-10, Indra, mengakui ada kesalahan teknis. Ia menyebut pihaknya akan menanggulangi dengan penyemprotan air menggunakan fog canon.
Namun bagi warga, solusi itu hanya sementara. "Kalau penyimpanan FABA tidak dikelola benar, kebocoran seperti ini bisa berulang," kata Irsyad.
FABA sejatinya bukan sekadar limbah. Pemerintah telah mengeluarkan regulasi yang memungkinkan abu batu bara ini dimanfaatkan untuk bahan bangunan atau infrastruktur. Namun, di lapangan, praktik penyimpanan dan pengelolaan masih menjadi masalah klasik.
Kawasan Suralaya yang disebut sebagai "jantung listrik Jawa-Bali", justru menanggung ironi, pasokan energi untuk kota-kota besar dibayar mahal dengan risiko kesehatan masyarakat lokal.