Lihat ke Halaman Asli

Maman Abdullah

Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Kawan Tapi Lawan: Amerika dan Inggris di Timur Tengah

Diperbarui: 24 September 2025   08:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menlu AS John Kerry (kanan) dan Menlu Inggris William Hague melakukan upaya bersama untuk menghidupkan kembali pembicaraan perdamaian Israel-Palestina

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Timur Tengah berubah menjadi panggung utama perebutan pengaruh dunia. Kawasan ini bukan sekadar tanah gurun dengan konflik lokal, melainkan jantung energi dunia yang kaya minyak, sekaligus titik strategis yang menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa. Tak heran jika dua kekuatan besar Barat---Amerika Serikat dan Inggris---terus menancapkan kukunya di sana.

Di permukaan, keduanya tampak kompak sebagai sekutu. Mereka sama-sama bagian dari blok Barat, anggota NATO, dan sering mengulang jargon "demi perdamaian dunia". Namun bila ditelusuri lebih dalam, ada persaingan senyap yang berlangsung sejak lama. Mereka memang kawan, tetapi sekaligus lawan.

Analogi Dua Pedagang Besar

Bayangkan ada dua pedagang kaya di sebuah pasar. Mereka membuka toko bersama, tersenyum ramah pada pembeli, bahkan kadang memberikan diskon bersama. Namun saat malam tiba, mereka menghitung keuntungan sendiri-sendiri, bahkan iri jika salah satunya lebih banyak laku. Di depan tampak bersahabat, di belakang saling berebut pelanggan.

Itulah yang terjadi dengan Amerika dan Inggris di Timur Tengah. Pasarnya adalah kawasan Arab dan Islam, dagangannya berupa minyak, senjata, dan dukungan politik. Keduanya seolah bekerjasama, padahal diam-diam berebut pengaruh.

Jejak Persaingan

Setelah Perang Dunia II, Inggris masih memiliki jaringan kolonial yang kuat di Timur Tengah. Namun Amerika datang sebagai kekuatan baru, menawarkan "stabilitas" dengan syarat: negara-negara harus tunduk pada aturan mainnya. Dukungan terhadap pendirian Israel adalah salah satu langkah nyata Amerika dalam menancapkan dominasi.

Inggris tidak tinggal diam. Melalui hubungan lama dengan kerajaan-kerajaan Teluk, Inggris tetap berusaha menjaga posisinya. Amerika lalu melangkah lebih jauh dengan menguasai kontrak minyak, membangun pangkalan militer, hingga mendukung rezim-rezim yang pro-Washington. Rivalitas ini terus berulang dalam setiap konflik besar: Palestina, Irak, Suriah, hingga Yaman.

Perang Irak 2003 menjadi contoh menarik. Amerika memimpin invasi, Inggris ikut serta. Namun dalam pembagian pascaperang, terjadi tarik-menarik kepentingan. Amerika ingin dominasi penuh, sementara Inggris berusaha mendapatkan porsi dari kontrak minyak dan pembangunan. Di hadapan publik, keduanya terlihat akur. Tetapi di meja perundingan, jelas ada kompetisi.

Dunia Menyadari

Apakah dunia menyadari persaingan ini? Sebagian besar iya. Rusia dan Cina misalnya, sering menuding bahwa Timur Tengah hanyalah papan catur bagi Barat. Para analis Barat pun kerap menulis bahwa Amerika dan Inggris sebenarnya "kawan tapi lawan." Hanya saja, narasi resmi di panggung diplomasi selalu menekankan persahabatan dan aliansi strategis.

Masyarakat awam biasanya hanya melihat kulit luarnya: bahwa mereka adalah sekutu. Padahal, di balik layar, perebutan pengaruh tidak pernah berhenti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline