KOMPASIANA.COM - Kasus video viral perpeloncoan berupa cium kening di Universitas Sriwijaya (UNSRI) seharusnya menjadi momentum serius bagi institusi pendidikan untuk menegakkan etika dan keamanan kampus. Namun, dari klarifikasi yang disampaikan pihak kampus dan HIMATETA, tampak bahwa penanganan kasus ini masih jauh dari tegas dan reflektif.
Dalam akun resmi Instagram UNSRI, disebutkan bahwa HIMATETA, organisasi yang terlibat, akan dibekukan selama satu tahun. Klarifikasi ini diikuti pernyataan Ketua HIMATETA yang menyebutkan "keteledoran" sebagai alasan dan menekankan permohonan maaf. Sementara Wakil Dekan Fakultas Pertanian menyebut peristiwa itu "hanya seru-seruan." Pernyataan-pernyataan ini justru menimbulkan kesan minimnya tanggung jawab moral dan budaya perpeloncoan yang selama ini acap terjadi di kampus-kampus Indonesia dianggap sepele.
Masalah utama bukan hanya pada tindakan perpeloncoan itu sendiri yang jelas bersifat melecehkan dan merendahkan martabat mahasiswa baru tetapi juga pada respons institusi. Penggunaan kata "seru-seruan" untuk mendeskripsikan pelecehan fisik dan psikologis menegaskan bahwa UNSRI masih memandang ringan perilaku yang seharusnya dikategorikan sebagai bullying. Memberikan sanksi berupa pembekuan satu tahun bagi organisasi, tanpa kejelasan sanksi individu dan proses pendidikan etikanya, terlihat lebih sebagai simbol formalitas daripada upaya mendidik atau mencegah hal serupa.
Lebih jauh, tindakan HIMATETA yang mengaku "tidak berpikir panjang" dan berfokus pada kegiatan gotong royong awal, menunjukkan lemahnya kesadaran anggota organisasi tentang batas-batas etika. Lalu, apa pesan yang diterima mahasiswa baru? Bahwa pelecehan bisa terjadi selama dibalut dengan kegiatan positif lainnya? Atau bahwa organisasi kampus bisa "kebal" dengan sekadar meminta maaf di video klarifikasi?
UNSRI seharusnya mengambil langkah lebih tegas dan transparan: meninjau kembali struktur kepengurusan organisasi, memberi sanksi individu yang jelas, mengedukasi seluruh mahasiswa mengenai etika, dan membangun mekanisme pengaduan yang efektif. Tanpa langkah-langkah ini, kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi budaya kampus bahwa bullying, perpeloncoan, dan pelecehan bisa terjadi, tapi cukup ditanggapi dengan pembekuan organisasi dan permintaan maaf formal.
Perpeloncoan bukan sekadar "keteledoran" atau "seru-seruan." Ini adalah bentuk kekerasan psikologis yang tidak seharusnya ditoleransi di institusi pendidikan tinggi. Kampus yang serius mencetak generasi berkualitas harus lebih dari sekadar mengumumkan klarifikasi dan sanksi simbolis. Mereka harus menegakkan prinsip bahwa martabat mahasiswa adalah harga yang tak bisa ditawar.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI