Lihat ke Halaman Asli

Maman Abdullah

Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Saat Penguasa Tak Bisa Disentuh Hukum, Kita Rindu Kisah Ali dan Al-Fatih

Diperbarui: 21 Agustus 2025   10:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Dokumen iNews.id 

Baru-baru ini, publik kembali menyaksikan wajah hukum Indonesia yang compang-camping.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto resmi ditahan KPK dalam kasus dugaan suap penanganan sengketa Pilkada di MK. Tak sedikit yang mencium aroma politis: apakah ini benar-benar soal hukum, atau ada misi “membersihkan lawan”.  Di waktu hampir bersamaan, Tom Lembong ,  divonis bersalah dengan tuntutan hukum 4,5 tahun. Sementara itu, keluarga presiden—baik anak maupun menantu—yang juga aktif di politik dan bisnis, tak sekalipun tersentuh pemeriksaan hukum, meskipun publik mempertanyakan dugaan nepotisme dan konflik kepentingan.

Rakyat melihat. Dan rakyat mulai muak. Karena hukum yang tampak tegas terhadap lawan, tapi lunak pada kawan, hanya akan melahirkan ketidakpercayaan.

Namun dalam sejarah Islam, ada dua kisah agung yang mengajarkan makna sejati dari hukum yang adil, objektif, dan bebas dari intervensi politik: kisah Imam Ali bin Abi Thalib dan Sultan Muhammad Al-Fatih. Keduanya pemimpin tertinggi negara, tapi kalah di pengadilan oleh rakyat biasa — dan mereka menerimanya tanpa tekanan, tanpa kompromi.

Imam Ali Kalah dari Seorang Yahudi

Saat menjabat sebagai khalifah, Ali kehilangan baju besinya. Ia menemukannya berada di tangan seorang Yahudi. Namun, alih-alih merebut paksa, Ali membawa kasus itu ke pengadilan Islam.

Hakim Syuraih meminta bukti. Ali hanya membawa putranya Hasan sebagai saksi. Tapi menurut aturan syariah, kesaksian anak kepada ayah tak dapat diterima. Maka hakim memutuskan: baju besi itu milik si Yahudi.

Imam Ali, pemimpin dunia Islam saat itu, menerima keputusan dengan lapang dada. Yahudi itu terkesan, lalu masuk Islam karena menyaksikan keadilan sejati.

Muhammad Al-Fatih Dihukum karena Merusak Lahan

Di masa Sultan Muhammad Al-Fatih, pembangunan benteng menyebabkan kerusakan pada lahan milik seorang Kristen. Orang itu menggugat sang Sultan ke pengadilan.

Sultan datang sendiri sebagai tergugat. Tak membawa pengawal, tak memamerkan kuasa. Hakim menilai bukti, dan memutuskan Sultan bersalah. Ia harus membayar ganti rugi. Muhammad Al-Fatih tidak menekan hakim. Tidak marah. Tidak “melobi”. Ia justru menjalankan keputusan sebagai bentuk kepatuhan kepada syariat.


Dua Kisah, Satu Nilai: Hukum Islam Adil dan Tidak Memihak

  • Kedua peristiwa ini mengandung pesan besar:
  • Hukum Islam berdiri di atas wahyu, bukan kekuasaan.
  • Penguasa dan rakyat sederajat di hadapan hukum.
  • Hakim bebas dan independen.
  • Pemimpin Islam tunduk, bukan mengendalikan hukum.

Bandingkan dengan Sistem Sekarang

Sementara dalam sistem hari ini: Hukum jadi alat kekuasaan. Siapa yang kritis bisa dicari-cari salahnya. Tapi yang dekat kekuasaan bisa kebal hukum. Media jadi pengadilan publik, bukan ruang objektivitas. Semua ini buah dari sistem hukum sekuler — hukum buatan manusia yang tunduk pada kalkulasi politik, kepentingan ekonomi, dan kekuasaan oligarki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline