Lihat ke Halaman Asli

Julianda Boang Manalu

TERVERIFIKASI

ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Siapa yang Mengendalikan Narasi Sejarah?

Diperbarui: 26 Juli 2025   06:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film perjuangan perempuan. Sumber: cosmopolitan via bangun-indonesia.com)

Penulisan ulang sejarah nasional Indonesia yang diprakarsai oleh Kementerian Kebudayaan di bawah Menteri Fadli Zon telah memantik perdebatan sengit di ruang publik. Proyek ini---yang menargetkan penyelesaian pada 17 Agustus 2025 sebagai hadiah HUT ke-80 RI---melibatkan sekitar 112 hingga 130 sejarawan dari 34 perguruan tinggi di seluruh negeri.

Tujuannya jelas: memperbarui buku sejarah nasional yang terakhir diperbaharui 26 tahun silam dan menggantikan buku Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS) yang terbit pada 2010--2012.

Dalam paparan publik, Fadli Zon menekankan bahwa penulisan sejarah ini tidak dipengaruhi politik dan disusun berdasarkan metode "accepted history", yakni mengacu pada fakta akademik berdasarkan penelitian ilmiah. Ia menyatakan bahwa "tidak ada intervensi terkait penulisan ulang sejarah" dan percaya proyek ini akan memuat fakta keras dalam lintas periode sejarah nasional.

Namun, serangkaian kritik tajam dari sejarawan, aktivis, akademisi independen, dan masyarakat sipil mengangkat satu pertanyaan besar: apakah narasi sejarah yang diciptakan oleh negara ini benar-benar independen, atau justru sarana pengendalian dan legitimasi politik? Konteks pertanyaan ini menjadi pusat kegelisahan publik.

Sejarah bukan sekadar arsip masa lalu. Ia adalah identitas bangsa, memori kolektif, dan alat refleksi terhadap siapa kita dan ke mana kita menuju. Jika narasi ini dikendalikan oleh kekuasaan, bukan rakyat atau ilmuwan independen, maka apa yang tertulis bukan sejarah yang otentik, melainkan sejarah versi penguasa.

Politik, Ilmiah, dan Hak Publik atas Sejarah

Kelompok seperti Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI)---beranggotakan sejarawan, ahli hak asasi manusia, pegiat masyarakat sipil, dan akademisi independen---menyerukan penolakan tegas terhadap proyek ini.

Ketua AKSI, Marzuki Darusman, bahkan menyebut proyek ini sebagai "proyek masif rekayasa masa lalu" yang menempatkan negara sebagai pemegang kebenaran tunggal sekaligus mencurigai motif untuk mencuci dosa rezim penguasa. Ia menegaskan bahwa proyek ini menimbulkan legitimasi kekuasaan atas sejarah, dan berpotensi menyangkal pluralitas dan trauma yang belum diselesaikan.

Asvi Warman Adam, sejarawan senior yang juga anggota AKSI dan anggota Komisi X DPR RI, menyatakan bahwa penulisan ulang ini tidak memenuhi kaidah ilmiah karena dilaksanakan secara terburu-buru tanpa forum dialog terbuka atau uji publik yang memadai.

Ia khawatir bahwa narasi ini akan mengaburkan fakta-fakta kritis, seperti pelanggaran hak asasi manusia di era Orde Baru, kasus penculikan aktivis pada 1998, dan tragedi pemerkosaan massal Mei 1998, yang pernah diakui oleh lembaga resmi seperti Komnas HAM maupun Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).

Sejarawan dan antropolog seperti Andi Achdian dari Universitas Nasional juga menyoroti bahaya label "sejarah resmi" yang berimplikasi pada otoritarianisme kultural: negara menegasikan tafsir alternatif dan mengkategorikan narasi lain sebagai "tidak resmi" atau subversif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline