Lihat ke Halaman Asli

Antara Menenangkan Diri dan Menipu Diri: Refleksi Kaum Muda Masa Kini

Diperbarui: 16 Juli 2025   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Seorang Yang Menenangkan Diri (Sumber: Pixabay/ Kei_TheraPeutic)

Di tengah gempuran modernitas dan derasnya arus informasi, kaum muda masa kini berada dalam pusaran dinamika hidup yang kompleks. Tantangan hidup yang tidak ringan mulai dari tekanan akademik, tuntutan pekerjaan, relasi sosial, hingga pencarian jati diri mendorong mereka mencari cara untuk tetap "waras".

Salah satu mekanisme yang banyak digunakan adalah dengan menenangkan diri. Namun, tidak sedikit dari proses ini justru berubah menjadi bentuk penipuan diri yang tak disadari.

Antara Ketenangan dan Pelarian

Kebutuhan untuk menenangkan diri adalah fitrah manusia. Dalam psikologi modern, praktik seperti mindfulness, meditasi, journaling, olahraga, dan bahkan rehat dari media sosial dianggap sebagai bentuk perawatan diri (self-care) yang sehat.

Kaum muda menyadari pentingnya menjaga kesehatan mental mereka, dan itu merupakan langkah positif dalam budaya yang dulu mengabaikan isu psikologis.

Namun, garis batas antara menenangkan diri dan menipu diri sangatlah tipis. Sering kali, seseorang mengatakan "aku butuh healing" bukan untuk benar-benar memulihkan diri,

tetapi untuk melarikan diri dari tanggung jawab, realita, atau kegagalan yang tidak ingin dihadapi. Proses ini pada akhirnya bukan menghasilkan pemulihan, tetapi penyangkalan.

Narasi yang Dibentuk Media Sosial

Media sosial memberi panggung pada budaya positivity yang sayangnya kerap semu. Ungkapan seperti "self-love is the priority" atau "you deserve a break" begitu masif disebarkan tanpa konteks.

Akibatnya, banyak kaum muda terdorong untuk menjustifikasi kemalasan atau keengganan menghadapi kenyataan sebagai bentuk cinta diri.

Di sisi lain, media sosial juga menciptakan tekanan untuk "selalu terlihat baik-baik saja". Dalam upaya mempertahankan citra, sebagian anak muda memilih untuk menipu diri dengan menyembunyikan luka, kelelahan, atau kerapuhan batin.

Mereka tampak tenang, tetapi sebenarnya rapuh. Mereka tersenyum, namun di balik layar sedang hancur. Inilah yang disebut sebagai toxic positivity di mana emosi negatif dianggap tidak boleh muncul, padahal bagian dari pemulihan adalah menerima emosi itu apa adanya.

Budaya "Slow Living" atau Malas Berkedok?

Fenomena slow living yang belakangan populer juga patut dicermati secara kritis. Konsep hidup pelan, menikmati proses, dan tidak terburu-buru tentu baik dan penting.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline