Kadang dalam hidup, kita tidak bisa memiliki semuanya. Kita harus memilih: disukai atau dihargai. Dua hal yang sekilas tampak serupa, tetapi sejatinya sangat berbeda.
Hidup di Antara Dua Pilihan
Sejak kecil kita diajari untuk bersikap baik, membantu sesama, dan membuat orang lain senang. Itu ajaran yang indah. Tapi saat kita tumbuh dewasa, kita mulai menyadari bahwa tak semua senyuman datang dari hati yang tulus. Tak semua kebaikan dibalas dengan penghargaan. Dan tak semua usaha untuk menyenangkan orang lain, akan membawa kita pada kedamaian.
Tiba-tiba kita tersadar bahwa terlalu sibuk ingin disukai bisa membuat kita lelah---bahkan lupa siapa diri kita. Kita menjadi aktor dalam hidup sendiri, berperan sesuai ekspektasi orang lain, sambil perlahan kehilangan arah dan nilai.
Lalu muncul pertanyaan: Apa yang lebih penting, disukai atau dihargai?
Serigala vs Keledai: Simbol Pilihan Hidup
Serigala seringkali disalahpahami. Ia dianggap keras, liar, dan berbahaya. Tapi sejatinya, serigala adalah makhluk yang kuat, penuh tujuan, dan tidak mudah dipengaruhi. Ia bisa berjalan sendiri, tetapi bukan karena kesepian---melainkan karena tahu arah.
Keledai, di sisi lain, adalah lambang kesetiaan dan kerja keras. Tapi sering pula dijadikan simbol dari kerelaan dimanfaatkan tanpa perlawanan. Ia memikul beban, terus maju, meski tak pernah diperlakukan setara. Tak pernah dianggap cukup berharga untuk dihormati.
Hidup mengajarkan kita bahwa menjadi serigala tidak berarti menjadi egois. Tapi tentang memiliki nyali untuk berkata "tidak", menjaga jarak dari yang tidak menghargai, dan berani melangkah sendiri jika jalan itu lebih sesuai dengan nilai hidup kita.
"Serigala tidak keras tetapi kuat. Ia berjalan sendiri tetapi ia berjalan dengan tujuan."
Kalimat ini bukan sekadar kutipan, tapi arah hidup. Arah untuk tidak sekadar mengikuti keramaian, tapi mengikuti kompas batin kita sendiri.
Tentang Harga Diri dan Batasan
Dalam dunia yang menilai kelembutan sebagai kelemahan, seringkali kita terjebak dalam pola menyenangkan semua orang. Kita lupa bahwa kita juga manusia, bukan mesin pemenuh harapan.
Harga diri bukan dibangun dari banyaknya orang yang menyukai kita, tapi dari keberanian untuk tidak mengorbankan nilai kita hanya demi diterima. Kita punya hak untuk menetapkan batas. Untuk mengatakan "tidak" pada permintaan yang melelahkan jiwa. Untuk berhenti berusaha keras di tempat yang tidak pernah melihat usaha kita.
Bukan keras kepala, tapi punya kepala yang tahu arah. Bukan egois, tapi paham mana yang layak dipertahankan.