Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Cantik Luar-Dalam, Itulah Kecantikan Sejati

Diperbarui: 4 Agustus 2017   00:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Calvin dan Calisa menjalani pernikahan tanpa cinta. Awalnya, Calvin sama sekali tak mencintai Calisa. Teman-temannya meyakinkan Calvin bahwa Calisa wanita yang cantik. Tak hanya cantik di luar, melainkan cantik di dalam.

Tahun demi tahun berlalu. Seiring berjalannya waktu, Calvin mempercayai penilaian teman-temannya. Ia melihat dan merasakan sendiri kecantikan Calisa. Calisa bukan hanya cantik secara fisik. Ia pun mempunyai hati yang tak kalah cantik. Belum lagi hati yang lembut dan pembawaannya yang anggun. Membuat sosok Calisa makin menawan di mata Calvin.

Lama-kelamaan, cinta bersemi di hati Calvin. Ia mencintai istrinya sepenuh hati. Ia mengakui dan menghargai kecantikan Calisa. Calvin bahkan menyebut Calisa sebagai wanita cantik luar-dalam.

Lain lagi dengan kisah Rosany Caetano. Wanita 30 tahun asal Brasil itu terharu saat ayahnya yang difabel datang ke acara wisudanya. Ia sama sekali tak malu mempunyai ayah berkebutuhan khusus. Sebaliknya, Rosany bangga dengan ayahnya.

Sang ayah terlahir difabel. Ia memiliki sebelas anak, namun hanya tiga yang bertahan hidup. Salah satunya adalah Rosany. Ayahnya sering mengeluh sakit tiap kali berjalan dengan menggunakan tangan. Namun hal itu tak membuat sang ayah kehilangan semangat untuk datang ke acara wisuda putrinya yang cantik.

Ya, Rosany adalah wanita cantik. Fisiknya rupawan, begitu pula hatinya. Kalau tidak, mana mungkin ia menerima dan membanggakan ayahnya yang berkebutuhan khusus? Mencintai dan menerima tanpa syarat, kualitas tertinggi yang dapat dimiliki. Rosany memiliki kualitas itu. Kecantikan hatinya mampu membuatnya menerima keadaan sang ayah.

Soal kecantikan dan penerimaan, saya pun memiliki kisah sendiri. Sejak kecil sampai sekarang, kedua orang tua saya selalu membanggakan dan menerima diri saya. Mama-Papa tak pernah ragu memperkenalkan saya pada teman-teman mereka. Saya ingat, waktu kecil sering ikut hadir di acara-acara kantor Mama dan Papa. Sampai teman-teman kantor mengenal saya dengan baik. Well, Papa bukanlah sosok yang romantis. Ia tak pernah memeluk saya. Ciuman dari Papa hanya saya terima setahun sekali, tepatnya tiap kali meminta maaf lahir batin saat Idul Fitri. 

Berbeda dengan Mama saya yang romantis dan hangat. Mama tak pernah ragu memeluk, mencium pipi, mengelus, dan merapikan rambut saya. Saat di rumah maupun di depan publik. Mama tahu kalau saya paling suka dipeluk dan dicium. Padahal semua orang tahu, bagaimana tegas dan kerasnya Mama saya. Terutama saat masih aktif di kantor dan memegang jabatan struktural selama beberapa tahun. Saat itu, Mama sering memarahi anak buahnya bila terjadi kasus yang tidak beres soal pekerjaan. Berbeda dengan Papa. Papa juga mengemban jabatan struktural, tapi tak pernah marah atau bersikap keras pada bawahan. Cara kepemimpinan Mama dan Papa amat berbeda.

Dalam kedinasan, Mama tegas dan disiplin. Namun berbeda dengan urusan anak. Sangat berbeda. Dalam penilaian saya, Mama adalah wanita cantik luar-dalam. Bagaimana tidak, beliau mau menerima keadaan saya dengan ikhlas. Merawat, membesarkan, mendidik, menjaga, membiayai, dan mengajari saya banyak hal. Tidak semua orang tua bersedia melakukan itu. Beberapa anak yang saya kenal pada akhirnya "dibuang" ke asrama dan orang tuanya tidak mempedulikannya. Orang tua seakan lepas tanggung jawab ketika sudah "membuang" anaknya yang dianggap tak sesuai harapan. Dalam hati, saya berniat akan melakukan apa yang selama ini dilakukan Mama jika saya dipercaya untuk mempunyai anak nanti. Itu pun kalau saya punya umur panjang dan kesempatan.

Waktu kecil, teman-teman memanggil saya "Bule". Dan "Boneka Barbie". Entahlah, mungkin karena saya bermata biru. Dan saya bangga karenanya. Bukan bermaksud sombong atau tebar pesona, tapi saya mencintai sesuatu yang melekat dalam diri saya. Kini setelah beranjak dewasa, ada beberapa teman yang memanggil dengan sebutan "Princess" dan "Peri Kecil". Entah kenapa saya dipanggil begitu. Mereka tahu saja, kalau saya suka diberi panggilan sayang.

Meski demikian, ada satu hal yang masih menimbulkan tanda tanya di hati saya. Mengapa banyak teman-teman saya yang berparas cantik justru single? Sedangkan teman-teman saya yang terlihat biasa saja, baik wajah, sifat, latar belakang, kondisi ekonomi, kecerdasan otak, dan ketaatan beragama, memiliki kisah cinta yang mulus. Bahkan kekasih mereka tampan dan populer. Saya dan beberapa teman yang berparas cantik malah sendiri terus. Saya coba cari jawabannya. Lama mencari dan menganalisis, akhirnya saya mendapat jawaban: kecantikan sejati adalah kecantikan di luar dan di dalam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline