Asal-Usul Nama Lubang Buaya
Lubang Buaya merupakan sebuah kawasan di daerah Pondok Gede, Jakarta Timur, yang dikenal sebagai lokasi pembuangan korban peristiwa Gerakan 30 September 1965. Secara administratif, sumur Lubang Buaya terletak di Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung. Pada masa itu, wilayah ini menjadi tempat pelatihan militer yang dikelola oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kini, area tersebut telah diubah menjadi kompleks bersejarah yang mencakup Monumen Pancasila Sakti, museum diorama, sumur pembuangan para pahlawan revolusi, serta bangunan berisi koleksi peninggalan peristiwa tersebut.
Nama Lubang Buaya sendiri diyakini berasal dari cerita rakyat yang menyebutkan adanya buaya putih yang dahulu hidup di sungai sekitar kawasan tersebut. Di area ini juga berdiri patung elang besar dan tujuh patung pahlawan revolusi. Terdapat pula rumah tua yang dahulu digunakan sebagai tempat penyiksaan dan pembunuhan para perwira militer, serta kendaraan yang dipakai untuk mengangkut korban. Karena peristiwa tragis itu, nama Lubang Buaya kemudian selalu diasosiasikan dengan sumur maut tempat para pahlawan dibuang. Padahal, penamaan wilayah ini telah ada jauh sebelum tragedi G30S, sebab dulunya daerah tersebut memang dikenal dengan banyaknya buaya di sekitar sungai. Namun, karena kisah G30S diabadikan dalam buku-buku sejarah nasional, banyak masyarakat yang menganggap bahwa nama Lubang Buaya muncul akibat peristiwa tahun 1965 (Munsi, 2016; Afiifadiyah & Jumardi, 2021).
Narasi Orde Baru dan Propaganda
Pemerintahan Orde Baru memanfaatkan Lubang Buaya sebagai simbol kekejaman yang dikaitkan dengan PKI. Film Pengkhianatan G30S/PKI menjadi alat propaganda utama untuk membentuk citra negatif terhadap PKI dan organisasi perempuan Gerwani. Salah satu bentuk manipulasi yang mencolok dalam film tersebut adalah penggambaran adegan penyiksaan dan kekerasan ekstrem tanpa sensor. Namun, sejumlah sejarawan seperti John Roosa dan Benedict Anderson menegaskan bahwa tidak ada bukti medis yang mendukung kisah penyiksaan sadis sebagaimana ditampilkan dalam film. Hasil otopsi terhadap jenazah para jenderal menunjukkan bahwa luka-luka yang ditemukan tidak sesuai dengan narasi resmi Orde Baru, sehingga kemungkinan besar adegan tersebut hanyalah konstruksi politik untuk memperkuat legitimasi rezim (Suharjono, 2018).
Isu lain yang muncul adalah dugaan keterlibatan Suharto dalam peristiwa itu. Beberapa sumber berpendapat bahwa Suharto sebenarnya telah mengetahui rencana kudeta namun membiarkannya berlangsung agar ia dapat mengambil alih kekuasaan secara politis. Dengan demikian, G30S menjadi momentum bagi Suharto untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya, termasuk para jenderal pendukung Soekarno dan anggota PKI.
Debat dan Reinterpretasi Pasca-Reformasi
Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, kajian sejarah tentang peristiwa 1965 mulai mengalami pergeseran makna. Narasi yang sebelumnya hanya menuding PKI sebagai dalang utama kini banyak dipertanyakan dan direvisi. Beberapa sejarawan menganggap bahwa insiden 1 Oktober 1965 hanya dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan kekerasan terhadap masyarakat yang dituduh simpatisan PKI.
Selain itu, situasi politik dan sosial Indonesia yang tegang pada dekade 1960-an turut menjadi faktor yang mendorong munculnya kekerasan massal. Mitologi Lubang Buaya, dengan narasi kekejaman yang dilebih-lebihkan, memperkuat sentimen kebencian dan mempercepat proses dehumanisasi terhadap kelompok kiri.
Untuk memahami mengapa kekerasan tersebut mendapat dukungan luas, analisis struktural saja tidak cukup. Konsep abjeksi---yakni proses menganggap suatu kelompok sebagai hina, menjijikkan, dan berbahaya---menjelaskan bagaimana PKI diposisikan sebagai musuh bangsa. Proses ini diperkuat melalui media, monumen, museum, film, dan kurikulum sejarah resmi pada masa Orde Baru. Bahkan setelah Reformasi, citra tersebut masih dilestarikan melalui upacara kenegaraan seperti peringatan Hari Kesaktian Pancasila (Damm, 2018).
Dengan demikian, diskursus pasca-Reformasi tidak hanya menyoal siapa dalang di balik G30S, tetapi juga menyentuh bagaimana konstruksi sejarah dibentuk dan diwariskan oleh penguasa. Reinterpretasi sejarah menjadi upaya untuk membongkar propaganda masa lalu serta menghadirkan pemahaman yang lebih kritis, objektif, dan inklusif terhadap sejarah kelam Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI