Lihat ke Halaman Asli

Abdul Malik

penulis seni budaya

Ludruk Karya Budaya, Mbeber Urip Gawe Urup

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1429110527238878542

Ludruk Karya Budaya

Mbeber Urip Gawe Urup

Oleh Abdul Malik

LAPANGAN MAGERSARI di Kebonagung penuh sesak dengan penonton. Mereka lesehan menonton pentas ludruk. Ini adalah salah satu hiburan rakyat yang digelar PG Kebonagung sebagai rangkaian Royalan Pabrik sebelum masa giling dimulai. Parkir dadakan bermunculan disekitar lapangan Magersari, salah satunya yang dikelola anak-anak muda dari Komisi Pemuda Remaja GKI Kebonagung. Malam itu sepeda motor yang parkir full dan baru bubar sekitar pukul tiga dini hari.Di salah satu lapak penjual kaset vcd, saya bertemu kawan lama “Cak Supali”. (16/5/2014). Bukan secara fisik tentunya karena Cak Supali sudah almarhum. Saya bertemu lewat Vcd Cak Supali “Pidato” (Mengenang Cak Supali dan Cak Trubus). Pertemuan ini membawa ingatan pada ludruk Karya Budaya Mojokerto tempat Cak Supali bergabung sebagai pelawak. Dalam sebuah group ludruk, posisi lawak seringkali menjadi magnet dan ikon.

[caption id="attachment_410295" align="aligncenter" width="300" caption="Desain poster Hari Ludruk Sedunia karya Danial "][/caption]

Cak Supali bergabung dengan ludruk Karya Budaya Mojokerto tahun 1996 menggantikan Cak Kunting, pelawak sebelumnya.Cak Supali adalah sosok seniman multitalenta. Ia bisa menyanyi, karawitan, mencipta tembang (kidungan), menari dan melawak. Ia kaya pengalaman. Sejak usia 10 tahun sudah berkesenian dengan melawak sambil berjualan obat. Pada tahun 1978 ia pernah bergabung dengan grup lawak  Trio Bululu di Radio Suzana. Dengan melawak di radio, namanya mulai populer di masa keemasan hiburan radio (1970-1980).

Kehadiran Cak Supali meningkatkan lagi jumlah tanggapan Ludruk Karya Budaya yang sedang mengalami kemerosotan tanggapan. Hal itu terbukti pada tahun 1997, jumlah pentas 182 kali. Tahun 1998, jumlah pentas juga mencapai 182 kali. Pernah pada tahun 1998, selama 105 hari, 3 bulan, ludruk Karya Budaya tak libur.  Dari pengalaman tersebut, nampak kehadiran pelawak ludruk yang berkarakter dan benar-benar bisa menghibur memang selalu dibutuhkan dan ditunggu oleh masyarakat.

Hal itu ditunjukkan oleh catatan ludruk Karya Budaya, selama dua tahun tanpa kehadiran Cak Kunting, jumlah pentas Ludruk karya Budaya menurun, pada tahun 1993 dan 1994, jumlah pentas 180 kali menjadi 160 kali pada tahun 1995 dan 1996.  Begitu Cak Supali bergabung, jumlah pentas langsung mengalami kenaikan.(hal.62)

Itulah sekelumit catatan Drs.H.Eko Edy Susanto, MSi (Cak Edy Karya) yang tertuang dalam buku Ludruk Karya Budaya, Mbeber Urip yang diterbitkan oleh Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto, 2014.

Buku Mbeber Urip mengingatkan saya pada buku My Life in Art (Hidupku Dalam Seni) karya Konstantin Stanislavsky (1863-1938). Stanislavsky menuliskan catatan-catatannya, sebagai aktor dan sutradara bersama Moscow Arts Theatre sepanjang rentang waktu 25 tahun. Pada buku yang terbit tahun 1925 tersebut, Stanislavsky menuliskan banyak catatan antara lain pengalaman pertama sebagai sutradara atas lakon The fruit of enlightment karya Leo Tolstoy. Terjemahan buku tersebut dalam bahasa Indonesia oleh Pak Max Arifin, dan diterbitkan oleh Pustaka Kayutangan, Malang (2006). Masyarakat teater mengenal Konstantin Stanislavsky sebagai ‘bapak teater realis’ dan ludruk lewat lakon-lakon yang dimainkannya mengambil spirit teater realis.

Seturut dengan Konstantin Stanislavsky, Cak Edy Karya membeberkan catatan-catatan  yang meliputi 21 tahun perjalanan memimpin ludruk Karya Budaya Mojokerto. Dalam buku setebal 185 halaman, Cak Edy Karya membagi pengalamannya dalam beberapa bab: Masa Cak Bantu,  Masa Cak Edy Karya, Eksistensi Tavesti dalam Ludruk, Masa Depan Ludruk.

Satu pertanyaan menarik, bagaimana metode bermain ludruk karena sampai saat ini belum ada sekolah khusus ludruk? Di era Cak Bantu (Bapak nya Cak Edy Karya) dikenal dengan metode berlatih:  nyebeng (melihat seniornya pentas ), sepelan (latihan dengan partner atau latihan merespon), dan tedean (kewajiban aktor junior minta petunjuk ke aktor senior atau kewajiban aktor senior membimbing juniornya).  Metode ini juga dilakukan oleh kelompok-kelompok ludruk lainnya. (hal. 62)

Penulisan buku Mbeber Urip dikerjakan dengan metode wawancara. Agung Priyo Wibowo, alumni STIBA Malang (kini tinggal di Mojoagung) mengajukan pertanyaan, lewat email dan jagongan langsung dengan Cak Edy Karya di berbagai kesempatan di Mojokerto. Hasil wawancara diolah, diedit dan diterbitkan dengan bahasa tulis “Saya” dan “Kami” mewakili Cak Edy Karya.

Cak Edy Karya juga membuka kiat-kiat tentang Manajemen Banci yang diterapkan ludruk Karya Budaya. ‘Banci’ adalah kata sifat, yang secara literal berarti tidak berjenis laki-laki dan juga tidak berjenis perempuan. Dalam konteks ‘Manajemen Banci’, pengertiannya adalah suatu manajemen yang menggunakan pola hubungan majikan-pekerja, yang menegakkan aturan organisasi, etika, dan kesejahteraan anggota. Saya tidak memakai istilah buruh, melainkan pekerja, untuk lebih menghargai anggota Ludruk Karya Budaya. Jadi, kata banci mempunyai konotasi bukan seperti manajemen majikan-pekerja semata, yang hanya mengutamakan setoran, melainkan semi majikan-pekerja.

Sebagai ilustrasi, misalnya , setiap kali pentas untuk pernikahan, sunatan, ruwatan desa, dan hajatan lainnya. Tiap sekali pentas tarif pentas ludruk saya potong Rp 3 juta untuk sewa gamelan dan properti panggung, mesekipun gamelan dan properti panggung itu milik Ludruk Karya Budaya sendiri. Uang tersebut saya gunakan untuk biaya hidup saya dan dana taktis untuk biaya praproduksi. Sedangkan tiap sekali pentas, tiap pemain menerima penghasilan yang berkisar  sekitar Rp 50.000 – Rp 150.000. Bergantung pada porsi tanggung jawabnya. Penghasilan dari pentas tersebut saya sisihkan sebesar Rp 500.000. Katakanlah dalam 1 tahun ada 100 kali pentas, berarti total nilainya sebesar Rp 50.000.000. Dari simpanan itu akan saya pergunakan kesejahteraan anggota, untuk bonus tunjangan hari raya, pinjaman bagi anggota, bantuan biaya pengobatan, dan bantuan kematian. Dengan demikian pemain anggota akan setia pada organisasi dan kesejahteraan mereka diperhatikan. Kebijakan itu saya berlakukan mulai tahun 1995.

Dari proses yang panjang, apa yang telah kami lakukan dengan ‘Manajemen Banci’, akhirnya berbuah mendapat penghargaan khusus dari Gubernur Jawa Timur sebagai lembaga peduli seni, yang memperhatikan kesejahteraan anggotanya. Dengan “Manajemen Banci” itu kami tak bisa membuat para anggota menjadi kaya, namun membuat mereka bahagia. (hal.122).

Saya belum bisa mengkomparasikan ludruk Karya Budaya dengan ludruk lain karena saya masih belum intens menonton dan mengamati ludruk selain ludruk Karya Budaya. Dalam amatan saya, ada hal yang membuat ludruk Karya Budaya menonjol yaitu manajemen, tercatat sebagai lembaga yang memiliki badan hukum (akta notaris), memiliki rekening atas nama lembaga, mempunyai nomor pokok wajib pajak atas nama lembaga. Persyaratan tersebut membuat ludruk Karya Budaya mampu ‘melenggang’ menembus  program dari pemerintah daerah, provinsi maupun kementerian, juga mendapat Corporate Social Responsibility dari Perusahaan Listrik Negara.

Setelah Cak Supali, Cak Trubus, dua pelawak andalan ludruk Karya Budaya berpulang, Cak Edy Karya terus berupaya melakukan inovasi demi survive ludruk Karya Budaya. Inovasi tersebut diantaranya menggandeng anak-anak muda: Mijil Pawestri (pelatih akting, alumni Jurusan Teater Institut Seni Indonesia, Yogyakarta),Sunawan (koreografer, alumni Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya),Nur Sasmito (penata lighting, Lidhie Art Forum),Kukun Triyoga (penata artistik panggung, mahasiswa STKW), Jabbar Abdullah (humas, Komunitas Lembah Pring), Glewo Anam (humas, Lidhie Art Forum).

Saat ini pelawak ludruk Karya Budaya yang eksis adalah Slamet Riyadi, Sukaryo, Cak Oting, Cak Liwon, Cak Budi dan Amin. Mereka akan tampil di Taman Krida Budaya Jatim di Jl. Soekarno Hatta 7 Malang bersama ludruk Karya Budaya dengan lakon Keris Tunjung Biru,

hari Rabu, tanggal 28 Mei 2014pukul 19.30 wib.

Saya bersyukur pernah menjadi bagian dari perjalanan ludruk Karya Budaya. Saya masih mengingat suasana saat menonton ludruk Karya Budaya nerop di berbagai tempat. Saat jagongan dengan Cak Edy Karya sambil leyeh-leyeh disamping para travesti yang sedang bersolek sebelum naik terop. Makan nasi rawon, nasi lodeh, nasi pecel dan ngopi di salah satu penjual yang mengikuti kemanapun ludruk Karya Budaya pentas, juga di beberapa warung yang ada di Pasar Mojosari dan Krian sepulang dari tanggapan ludruk.Kenangan yang berkesan.

Gerdu papak Parimono, nabuh bedhug nduk pinggir kali

Mbok bapak idennono, aku ngludruk niat uri-uri seni tradisi. (*)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline