Lihat ke Halaman Asli

Ang Tek Khun

TERVERIFIKASI

Content Strategist

Imlek dan Sembahyangan, Lauk dan Buah Sajian Mengusung Makna

Diperbarui: 16 Februari 2022   00:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Hidangan Khas Imlek (Foto: Tribun Manado via Kompas.com)

Agak lucu didengar bila saya membuat pengakuan bahwa saya adalah (turunan) etnik Tionghoa yang abal-abal. Banyak alasan untuk dikemukakan, terutama bagi siapa pun yang mempertanyakan hal ini.

Saya tumbuh di tengah keluarga yang status keberadaannya miskin dan hidup di desa. Ketika ayah serta paman dan tante mulai besar, kakek dan nenek saya pindah ke kota kecil bernama Donggala.

Seperti apakah kota Donggala di Sulawesi Tengah itu? Ketika mulai remaja dan merantau untuk bersekolah ke pulau Jawa, saya menggambarkannya sebagai kota di kaki gunungan tepi pantai. Jawaban paling praktis bagi siapa pun yang bertanya.

Orang Tionghoa seperti keluarga saya, yang apabila dikastakan, bukanlah kasta terdidik yang berkebudayaan tinggi. Lebih mirip dengan sebutan Tionghoas "abangan". Lebih larut pada budaya lokal wong ndeso di pedalaman Sulawesi Tengah.

Mereka banyak menghabiskan usia produktif di era pemerintahan Orde Baru (Orba) yang menerbitkan banyak larangan. Makanya, satu-satunya yang mampu saya ingat semasa kecil adalah adanya altar kecil untuk menyembahyangi leluhur.

Selebihnya, saya hanya tahu disebabkan Imlek yang semata-mata ditandai baju baru, silaturahmi, dan dapat angpoa. Tidak ada acara besar, sebab di kota kami tidak ada kelenteng. Sembahyangan di rumah dan sekadarnya.

Ketika datang era kebebasan karena jasa alm Gus Dur, saya sudah tumbuh di kota besar di pulau Jawa dan memeluk keyakinan lain. Tak ada lagi altar leluhur. Imlek menjadi sama seperti perayaan agama lainnya--bahkan terkesan lebih kecil.

Justru dari bacaanlah, sebagaimana siapa pun yang tertarik membacanya, saya tahu lebih banyak tentang Imlek dan lainnya. Bahkan mengenai sajian sembahyang, saya lebih memahaminya saat ini. Dahulu, sewaktu kecil, tahunya cuma "asyik, makan enak nih".

Sekarang saya menyadari dan takjub betapa menu-menu sembahyang menghadirkan keseimbangan dari sisi kesehatan. Polanya selalu sama: Ada daging, ada buah-buahan. Dan ternyata, semua punya makna.

Sebagai misal, dalam perayan Imlek dihadirkan ayam atau bebek. Keduanya biasanya disajikan secara utuh. "Hidangan ini melambangkan kesetiaan dan ketaatan," tulis Kompas.com Sebab, ayam atau bebek konon ditengarai sebagai hewan serakah.  Tujuan hidangan ini agar yang memakannya terhindar dari sifat buruk tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline