Lihat ke Halaman Asli

Rupiah Makin Terpuruk di Tengah Pesta Demokrasi

Diperbarui: 28 Juni 2018   23:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ditengah perhatian pada penyelenggaraan Pilkada serentak, rupiah  semakin melemah, kurs tengah hari ini berada pada level Rp 14.271 per US  dolarnya dan merupakan nilai tukar terlemah sejak krisis moneter 1998. 

Cadangan  devisa pada akhir Mei tercatat sebesar US $ 122,9 milyar, atau setara  dengan kebutuhan devisa untuk import dan pembayaran hutang luar negeri  selama 7,2 bulan, jumlah ini lebih baik dari kecukupan standar  internasional selama 3 bulan.

Namun, nilai tukar yang terus  melemah akan mendorong terjadinya pengetatan peredaran rupiah yang  merupakan kebijakan moneter umumnya dengan menaikan basis suku bunga BI.  Efeknya adalah pada tingkat produktivitas yang pada giliranya akan  menurunkan kemampuan eksport dan penurunan daya beli.

Dunia masih  dibayangi oleh kenaikan suku bunga The Fed dan perang tarif perdagangan  antara Amerika serikat dan China, para investor masih akan tetap mencari  investasi aman berupa mata uang US $.

Dalam kondisi demikian,  bukan tidak mungkin BI sebagai pemegang otoritas moneter akan melakukan  intervensi pasar uang yang akan semakin mempercepat penggerusan cadangan  devisa atau membiarkan mekanisme pasar uang berlaku.

Sebelumnya,  asumsi nilai tukar APBN tahun 2018 dipatok Rp 13.500, namun jika melihat  realita terjadi pelemahan nilai rupiah hingga pada level Rp 14.271 per  US $, selisih kurs tersebut cukup mempengaruhi pada perhitungan  pembayaran hutang luar negeri yang jatuh tempo. Terlebih terjadinya  kenaikan harga minyak dunia, selisih kurs tersebut akan semakin  membebani APBN atau menaikan harga BBM.

Bagi negara negara surplus  perdagangan, pelemahan nilai tukar yang juga dialami oleh negara2 lain,  penguatan mata uang dolar justru menguntungkan karena akan memperoleh  pendapatan yang lebih besar.

Indonesia merupakan pasar potensial  produk negara Industri otomotif, tahun 2016 menurut data statistik  berjumlah 129.281.073 unit yang membutuhkan komsusi BBM yang sangat  besar.  Jika  diakumulasikan, sepanjang Januari hingga April 2018,  neraca perdagangan   mengalami defisit sebesar Rp 1,31 miliar dollar AS  yang dipicu oleh  defisit sebesar 3,81 miliar dollar AS untuk migas dan  surplus sebesar  2,5 miliar dollar AS untuk sektor non-migas.

Pemerintah  yang mengedepakan pembangunan infrastruktur dengan pinjaman luar  negeri, disatu  sisi merupakan bentuk pelayanan kepada masyarakat, namun  disisi lain menjadikan Indonesia menjadi pangsa produk otomotif yang  lebih besar lagi. 

Jepang, sebagai negara produsen otomotif telah  menerapkan syarat2 kepemilikan kendaraan pribadi yang cukup berat untuk  memaksa rakyatnya beralih menggunakan transportasi publik yang  dibangun. 

Dalam kondisi nilai tukar yang makin melemah, implikasi  pada APBN makin membengkaknya subsidy BBM dan pembengkakan pembayaran  hutang luar negeri.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline