Lihat ke Halaman Asli

Kelik Novidwyanto

Penulis lepas; Pegiat di Komunitas Disambi Ngopi; Birokrat

Kala Semakin Berusaha, Kok Terasa Semakin Sulit?

Diperbarui: 10 Maret 2025   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika semakin berusaha malah semakin sulit. (Sumber: Pixabay)

PERNAHKAH kalian mendapati suatu ironi? Saat semakin memaksa diri untuk bahagia, malah terasa semakin sulit. Tapi saat kita menerima bahwa tidak selalu harus bahagia, justru kita bisa merasakan ketenangan.

Semakin kita takut gagal, semakin sulit mencoba. Tapi saat kita menerima kegagalan sebagai bagian dari proses, kita lebih berani dan akhirnya lebih mudah berhasil.

Fenomena unik ini disebut hukum upaya terbalik atau ”The Law of Reversed Effort”. Prinsip ini dicetuskan oleh Aldous Huxley, ia menyatakan bahwa semakin keras seseorang berusaha untuk mencapai sesuatu, semakin sulit hal itu tercapai.

Konsep ini sering dikaitkan dengan psikologi dan filosofi Taoisme yaitu prinsip “wu wei” (bertindak tanpa usaha berlebihan), di mana usaha berlebihan justru bisa menghambat hasil yang diinginkan.

Kenapa ini Terjadi?

Kita pasti bertanya-tanya, kenapa semakin keras kita berusaha mencapai sesuatu malah semakin susah untuk dicapai? Bukankah usaha keras tak akan mengkhianati hasil? Nah, ada beberapa alasan yang menjadi penyebab hukum upaya terbalik ini terjadi.

Penyebab pertama adalah “Tegangan Berlebihan”. Saat kita terlalu fokus dan memaksa diri, tubuh dan pikiran jadi tegang, yang malah menghambat kinerja alami kita. Rasa tegang dapat membuyarkan konsentrasi dan mematikan energi.

Penyebab kedua adalah “Ketidakseimbangan Kesadaran”. Jika kita terlalu sadar akan usaha kita, otak sadar mengambil alih dan mengganggu proses alami yang lebih efektif jika dilakukan tanpa tekanan. Ibarat, semakin kita memaksakan untuk sadar maka akan semakin stress pikiran kita. Beberapa pelaku meditasi menyebut situasi pada gelombang otak setengah sadar (alpha) malah lebih efektif untuk berfikir kreatif dibanding gelombang otak sadar penuh (beta).

Selanjutnya, penyebab ketiga disebut “Paradoks Kontrol”. Yaitu, semakin kita mencoba mengontrol sesuatu yang seharusnya terjadi secara alami, maka akan semakin sulit mencapainya. Dalam konteks Filsafat Stoikisme, hal-hal yang di luar kita tidaklah semestinya mati-matian kita kontrol. Aspek-aspek di luar diri kita biarkan saja untuk berdinamika, yang bisa kita kontrol adalah apa yang ada di dalam.

Cara Mengatasinya

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline