Di negeri yang gemar mengubur ingatan, perdebatan antara Goenawan Mohamad (GM) dan Martin Suryajaya muncul bak badai yang menyapu debu tebal di lemari sejarah. Ini bukan cuma soal dokumen lawas atau kisah surat-menyurat di era Perang Dingin. Lebih dari itu, ini adalah pertarungan dua cara memandang luka bangsa: satu dari sudut renungan yang sunyi, satu lagi dari jantung struktur yang menolak dilupakan.
Perdebatan ini berawal saat Martin Suryajaya, lewat tulisan "Kritik dan Emansipasi" di IndoPROGRESS (Juli 2011), melontarkan kritik pedas terhadap posisi GM dalam belantara kebudayaan pasca-1965. Ia menuding bahwa GM, melalui jejaringnya dengan Congress for Cultural Freedom (CCF) dan penerbitan karya-karya liberal seperti Camus, sadar atau tidak, ikut andil dalam membungkam politik dari ranah kebudayaan. Tak tinggal diam, GM membalas singkat dalam "Buat Saya Label Itu Lucu" (Agustus 2011) di IndoPROGRESS, sebelum kemudian memaparkan jawabannya lebih panjang dalam tiga tulisan berseri di KBR.id, berjudul "Jawaban untuk Martin" (Desember 2013).
Tuduhan dan Jawab: Dari Mana Mereka Berbicara?
Martin menulis dengan nada yang datar namun menghunjam: bahwa GM, raksasa di jagat sastra dan pers Indonesia, pernah dan mungkin masih menjadi bagian dari proyek kultural yang didanai CIA melalui CCF. Terjemahan karya-karya Camus, surat-menyuratnya dengan Ivan Kats, serta perannya dalam membentuk lanskap intelektual pasca-65, bagi Martin, bukan gerak netral. Itu adalah bagian dari upaya depolitisasi, dari upaya membungkam suara.
Goenawan menjawab, bukan dengan sanggahan yang berapi-api, melainkan dengan membuka kembali lembaran-lembaran usang: surat-surat pribadi, remah-remah ingatan, dan cuplikan percakapan. Ia tak menyangkal mengenal Ivan Kats. Namun, ia melihat Kats bukan sebagai agen rahasia, melainkan sekadar manusia biasa yang menaruh kepercayaan pada dirinya sebagai penulis muda. Ia bersikeras, tulisannya bukan lahir dari misi ideologis, melainkan dari tanggung jawab etis: untuk memantik pertanyaan, bukan menyodorkan jawaban; untuk menumbuhkan keraguan, bukan keyakinan buta. Ia menolak tegas label "agen budaya" seperti yang disematkan Martin, justru menantang kesimpulan tergesa-gesa yang hanya membaca sejarah sebagai sebuah skema besar yang kasar.
Akar Pemikiran: Humanisme Bebas dan Marxisme Tajam
GM menulis dari akar humanisme liberal, walau ia sendiri enggan mengakui label apa pun. Ia mengagumi Camus, Arendt, Berlin---sosok-sosok yang lebih menaruh iman pada integritas etis individu daripada dogma ideologis yang kaku. Dalam pandangannya, kebebasan berpikir dan otonomi moral jauh lebih berharga daripada berpihak pada satu kubu yang tegas namun membutakan.
Martin, sebaliknya, berpijak kukuh pada tradisi Marxisme Kritis, dari Marx dan Althusser hingga Gramsci dan Eagleton. Baginya, kebudayaan tak pernah steril. Setiap teks, setiap institusi budaya, adalah produk dan sekaligus alat dari dominasi kelas. Maka, ketika GM memilih teks-teks tertentu dan bersikap "netral" atas tragedi 65, ia---sadar atau tidak---turut mengukuhkan hegemoni pasca-Orde Baru yang telah terukir.
Gaya yang Memahat Dunia: Bisikan Pinggir versus Seruan Struktur
Goenawan adalah penulis dari "pinggir". Dalam "Catatan Pinggir" Tempo, ia merajut kisah, sejarah, dan buah pikir menjadi puisi-puisi kecil yang tak pernah berniat menggurui. Ia menulis untuk mengundang jeda dan renungan. Ia menolak dikurung dalam doktrin, dan mungkin karena itulah, ia dicurigai. Namun bagi jutaan pembacanya, justru di sanalah letak keistimewaannya yang tak tertandingi.