Martin, sebaliknya, menulis dari jantung sistem. Dalam "Margin Kiri" dan tulisan-tulisan lain di IndoPROGRESS, ia menyusun argumen demi argumen layaknya seorang arsitek yang membangun gedung pencakar langit: kokoh, sistematis, dan kaya akan kerangka teori. Ia tak gentar menyebut nama, membongkar jejaring, mengaitkan setiap fakta dengan sejarah panjang dominasi ideologis. Baginya, kebebasan yang tidak berpihak sama saja dengan ikut-ikutan menutupi luka yang menganga.
Apakah Tuduhan Itu Terjawab Tuntas?
Pada level niat, GM mungkin berhasil membersihkan namanya. Ia bukan agen bayangan. Ia tak punya agenda tersembunyi. Ia menulis bukan untuk mengabdi pada kekuasaan, melainkan pada suara nurani yang terusik. Namun pada level struktur, dalam cara dunia bekerja secara tak kasat mata, posisi GM tetaplah berada dalam sistem pasca-1965 yang menyingkirkan golongan kiri, membungkam oposisi, dan memuliakan estetika yang terasa "aman".
Dengan kata lain, Martin berbicara dari kedalaman sistem yang tersembunyi; Goenawan dari kedalaman batin yang tak terjangkau. Keduanya tak lantas saling meniadakan. Justru dari celah perbedaan mereka, kita belajar bahwa kebenaran bukan tunggal, melainkan perpaduan cahaya yang saling bertabrakan, menciptakan warna-warni yang rumit.
Untuk Apa Perdebatan Ini Bergulir?
Bagi Indonesia yang sedang meraba-raba wajah intelektualnya, perdebatan ini adalah anugerah. Ia membuka ruang yang berharga: untuk berani kritis, untuk jujur pada diri sendiri, untuk tidak gentar menyebut nama. Tapi juga untuk tidak lupa bahwa manusia bukan sekadar posisi. Bahwa kadang, niat tulus dan akibat yang tak terduga berjalan di jalur yang tak pernah sejajar.
Demokrasi membutuhkan keduanya: kritik tajam yang menusuk seperti pisau Martin, dan kesadaran etis yang lembut seperti bisik lirih GM. Keduanya adalah penawar kedewasaan. Keduanya mengingatkan kita untuk tidak cepat memihak tanpa berpikir, dan tidak cepat berpikir tanpa menyadari di mana kaki kita berpijak.
Dua Jalan, Satu Tujuan: Mencari Kebenaran
Goenawan Mohamad mengajari kita untuk berani ragu. Martin Suryajaya mengajari kita untuk berani tegas. Yang satu menulis dari pinggir yang puitis, yang lain dari pusat kritik yang struktural. Namun dari keduanya, kita belajar sebuah pelajaran berharga: menjadi intelektual sejati bukan soal menjadi benar mutlak, tapi soal memiliki keberanian untuk menggugat, dan keberanian untuk dipertanyakan.
Karena di negeri yang terbiasa menyembunyikan luka, kebenaran bukan hanya soal apa yang terjadi, tapi soal siapa yang berani menyingkap dan membicarakannya, apa pun risikonya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI