Oleh: P. Nana Kasianus, S.D.V.
(Misionaris di Negeri Naga Biru)
Ada suara yang tidak pernah padam meski telah lama berlalu. Bukan karena nyaringnya, melainkan karena menyentuh di dalam hati yang paling sunyi. Suara itu bukan dari atas mimbar, bukan dari panggung besar, tetapi dari seorang Paus di ruang sakristi. Dan aku, hanyalah seorang frater saat itu, frater kecil dari kampung kecil bernama Rafau, yang mendapat anugerah melayani dalam misa pembukaan sinode tentang keluarga pada pesta nama Paus Fransiskus di Basilika Santo Petrus, Vatikan.
Hari itu, Minggu, 4 Oktober 2015. Suasana di Vatikan luar biasa agung. Lebih dari seratus dua puluh kardinal berkumpul dalam Perayaan Ekaristi. Aku ditunjuk menjadi pelayan misa. Namun tugas utamaku sepanjang misa itu sangat sederhana aku hanya mencuci tangan Paus Fransiskus. Tapi justru dalam kesederhanaan itu, aku mendapatkan pesan yang mengubah jalan panggilanku.
Usai misa, di ruang sakristi, Paus Fransiskus memandangku dengan hangat. Ia menyapaku, engkau dari mana? Aku dengan lantang menjawab INDONESIA. Ia menggenggam tanganku, lalu berkata pelan: “Belajarlah dengan berlutut.”
Itu saja. Tak panjang. Tak ada khotbah panjang. Tapi kalimat itu menancap seperti anak panah di batinku. Belajar dengan berlutut. Artinya: belajarlah dengan kerendahan hati, dengan sembah sujud, dengan pengakuan bahwa panggilan ini bukan soal kepandaian, tetapi soal pengabdian.
Delapan tahun berlalu. Aku telah ditahbiskan sebagai imam. Aku diutus sebagai misionaris ke Vietnam sebuah ladang yang luas, keras, sepi, dan penuh tantangan. Tapi di sinilah aku ingin setia. Di tanah inilah aku ingin menjawab pesan Paus dengan hidupku. Di tanah misi yang tidak dikenal dunia, aku memilih untuk tetap berlutut dan melayani.
Lalu, sebuah mukjizat terjadi. Hari Senin, 12 Agustus 2024, aku kembali berjumpa dengan Paus Fransiskus. Kali ini bukan sebagai frater, melainkan sebagai imam. Bukan lagi dengan tangan penuh minyak krisma yang baru, melainkan dengan tangan yang mulai letih memikul salib pelayanan di negeri orang.
Perjumpaan kami sangat singkat. Pertanyaan sederhana datang dari Bapa Suci, dari mana kamu berasal ? INDONESIA. Tetapi saya melayani di VIETNAM. Seperti dulu, kata-kata Bapa Suci tetap hangat dan penuh roh, menatapku dengan senyum dan menggenggam tanganku, dan berkata: “Layanilah umat dengan rendah, sekalipun itu sulit, seperti di Vietnam. Ia menambahkan "Aku tahu bahwa pelayanan di sana pasti tak mudah dengan bahasa yang sulit, budaya yang asing, dan sunyi yang sering melukai.
Tapi kata-katanya belum selesai. Ia menambahkan dengan lirih: “Aku mendoakan ayah, ibumu, dan seluruh keluargamu.” Aku tertegun. Dari ratusan imam dan umat yang datang, ia menyebut ayah dan ibuku. Aku tak kuasa menahan air mata. Di tengah ribuan umat Katolik sedunia, Paus mengingat orangtuaku petani kecil dari kampung Rafau, kampung yang hingga hari ini bahkan belum tersentuh sinyal internet.
Dari Vietnam, aku menuliskan kenangan ini. Dari sebuah komunitas kecil Society of Divine Vocations. Di sini, lonceng gereja belum terdengar seperti di tempat lain pada umumnya. Di sini, misa tak selalu bisa dirayakan di kapel terbuka. Tapi di sinilah aku diutus. Di sinilah aku belajar dengan berlutut dan melayani dengan rendah.