Doa dari Reruntuhan: Keteguhan Santri, Ketegaran Bangsa
“Harapan kadang lahir justru dari ruang tergelap.”
Oleh Karnita
Pendahuluan: Kisah dari Balik Puing
Bagaimana mungkin seorang anak kecil bertahan hidup tiga hari di bawah reruntuhan beton? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan mengakui kekuasaan Allah Swt. yang Maha Menjaga. Berita Kompas.com (03/10/2025) berjudul “Tiga Hari Tertimpa Reruntuhan, Santri Ponpes Al Khoziny Sidoarjo Selamat Ditemukan Hidup” menjadi pengingat bahwa musibah datang tanpa peringatan, sekaligus ujian bagi iman, logika, dan daya tahan manusia.
Kisah Taufan Saputra Dewa (13), santri asal Surabaya, menjadi simbol kecil dari keberanian besar. Ia terjebak dalam posisi telentang, dengan wajah hanya berjarak beberapa jari dari puing seng, namun tetap yakin akan hidup. Berita ini bukan sekadar laporan bencana, tetapi juga refleksi tentang keyakinan, solidaritas, dan betapa rapuhnya keselamatan kita sehari-hari.
Sebagai penulis, saya melihat tragedi ini lebih dari sekadar peristiwa lokal. Ia mengandung urgensi nasional: tentang tata kelola bangunan, kesiapsiagaan bencana, hingga pendidikan karakter di tengah musibah. Relevansi kisah ini nyata: bagaimana kita sebagai bangsa bisa menumbuhkan rasa peduli, memperkuat regulasi, dan belajar dari derita yang menimpa anak-anak bangsa di tempat menimba ilmu agama.
1. Bertahan di Balik Gelap dan Debu
Taufan, bocah 13 tahun itu, tidak hanya bertahan dengan fisiknya, tetapi juga dengan imannya. Selama tiga hari ia terjebak, doa menjadi napas tambahan yang membuatnya tidak menyerah. Keyakinan inilah yang membuat ceritanya berbeda dari sekadar kisah penyintas bencana.
Dalam kondisi gelap, berdebu, dan hampir tak ada ruang gerak, ia hanya bisa berharap pada pertolongan Tuhan dan bantuan manusia. Narasi “Saya yakin saya bisa hidup” adalah simbol yang lebih luas dari mentalitas bertahan anak-anak bangsa. Ia adalah refleksi keteguhan spiritual yang lahir dari keterbatasan fisik.