Namun, kisah ini juga membawa kritik: mengapa musibah seperti ini harus berulang di tempat pendidikan? Apakah standar bangunan di lembaga keagamaan masih sering diabaikan? Pertanyaan ini menuntut jawaban serius dari pemerintah daerah maupun pusat.
2. Evakuasi Dramatis dan Pertaruhan Nyawa
Proses evakuasi Taufan tidak kalah menegangkan dari cerita bertahannya. Tim SAR harus merayap tiga jam setiap shift, melewati lorong selebar 60 cm, demi mencapai lokasi korban. Ini menunjukkan dedikasi luar biasa para penyelamat yang bekerja di bawah risiko runtuhan tambahan.
Kehati-hatian menjadi kunci. Setiap getaran bisa memicu bencana baru, menimpa baik korban maupun penyelamat. Di sinilah kita belajar tentang profesionalisme dan nilai keberanian dalam kerja kemanusiaan. Mereka yang bekerja di lapangan menghadapi ketidakpastian dengan hanya berbekal komitmen untuk menyelamatkan nyawa.
Namun, kita juga perlu refleksi: apakah koordinasi antar-lembaga sudah optimal? Apakah alat berat dan teknologi modern cukup cepat diterjunkan? Kritik ini tidak dimaksudkan melemahkan, melainkan mendorong perbaikan sistem penyelamatan kita di masa depan.
3. Luka Kolektif, Harapan Kolektif
Selain Taufan, ada tujuh korban lain yang ditemukan, dengan dua di antaranya meninggal dunia. Tragedi ini meninggalkan luka kolektif bagi keluarga, masyarakat Sidoarjo, dan bangsa. Setiap nama yang gugur adalah alarm yang mengingatkan betapa pentingnya pencegahan.
Luka itu sekaligus menghadirkan harapan kolektif. Solidaritas warga, doa berjemaah, hingga perhatian media nasional menunjukkan bahwa bangsa ini tidak tinggal diam. Ada energi kebaikan yang lahir dari tragedi, meski dibungkus duka.
Refleksi pentingnya adalah: bagaimana agar solidaritas itu tidak hanya muncul saat bencana, tetapi juga diwujudkan dalam aksi nyata sehari-hari? Dari membangun bangunan aman, menyusun SOP bencana, hingga melatih kesiapan mental generasi muda menghadapi musibah.